Istri yang terabaikan Bab 242

 Hello moms kembali lagi admin akan memberikan novel gratis yang sangat seru,novel ini merupakan salah satu novel yang lagi viral di FB loh..Novel ini menceritakan tentang balas dendam seorang istri yang tak anggap.Novel ini sangat seru loh moms dan mempunyai banyak penggemar setia.


Novel yang Berjudul “ ISTRI YANG TERABAIKAN “ ini menceritakan kisah seorang istri yang diabaikan oleh suaminya yang suka marah dan tidak menghargainya sebagai istri,kisah yang membuat kita larut ke dalam alur ceritanya ini sangat patut untuk dibaca yuk simak Novel nya…cekidot 😘🥰


Istrimu


Kata orang sayangnya nenek pada cucu melebihi sayangnya nenek pada anaknya yang sudah dewasa. Bu Dini malam ini pun ikut Putri, tidur di kamar Tiara.


Bu Dini memang hampir tidak pernah masuk ke kamar pribadi menantu dan putranya itu.  Sesampainya di kamar, Bu Dini terbelalak kaget, dan kesal ke Binar.


Meski sebagian barang- barang Putri sudah disusun cantik di kamar Tiara, tapi foto keluarga, Binar Tiara dan Putri masih tertempel, begitu juga foto nikahan. Pantas Isyana tidak mau mewarisi kamar Tiara.


Bu Dini hanya menatap Isyana dalam diam. “Ya... Tuhan , terima kasih Engkau pilihkan aku menantu yang berhati besar, seperti menantuku ini? Semoga Binar bisa bahagiakan anak ini?” gumam Bu Dini. 


Bu Dini mengerti, hanya orang yang berhati tulus, masih mau menghargai dan rela mengenang semua kenangan madunya. Yang ada di luar sana, madunya masih hidup saja ingin dilenyapkan dan dibuang. 


“Tulun... mau kemana Mommy?” rengek Putri menggerakan kakinya tidak tahan ngantuk ingin segera merebahkan diri ke kasur.


“No!” jawab Isyana tegas tetap menggendong Putri masuk ke kamar mandi.


“Hmmmm...” bantah Putri ngeyel dan cemberut. 


“No! Sikat gigi, cuci muka dan cuci kaki dulu!” ajak Isyana mengajarkan Putri disiplin. 


Untung Putri masih dalam gendongan, walau ngambek dan menolak, Isyana memaksa Putri untuk gosok gigi.


Ya, tidak peduli semanja apa Putri, sebagai ibu, meski tiri, Isyana tidak ragu memaksa Putri melakukan hal baik. 


Sesampainya di kamar mandi, Putri ngambek diam dan cemberut, tapi Isyana tetap sabar. Tidak peduli Putri yang ngambek, Isyana mengalah, menuangkan pasta gigi ke sikatnya, menyodorkan air kumurnya ke Putri.


“Masa anak mommy yang cantik rela sih, pas tidur, kuman gigitin gigi, Putri? Udah cantik, masa nanti senyum giginya jelek, yuk dirawat yuk giginya yuk!” rayu Isyana menyodorkan sikat giginya. 


Putri yang ngantuk masih cemberut. 


“Mommy sakit hati lho, kalau Putri nggak dengerin nasehat Mommy,” tutur Isyana lagi merayu. 


Kali ini Putri mengerti tapi masih diam.


“Putri anak sholehah kan? Mommy ajarin yang baik, nurut ya. Sebentar aja!” lanjut Isyana merayu. 


Kali ini Putri mengangguk dan akhirnya mau sikat gigi. 


“Terima kasih ya, udah dengerin kata Mommy,” tutur Isyana tersenyum memberi penghargaan ke Putri sambil mengusap kepalanya.  


Sembari menunggu Putri gosok gigi, Isyana masuk ke toilet, membersihkan dirinya sendiri, juga bagian intinya.


Isyana menyadari, sebagai perempuan apalagi sekarang menjadi istri harus merawatnya. Isyana harus bisa kasih servis yang baik untuk Binar nanti.


“Benar- benar sudah bersih,” gumam Isyana ternyata keputihanya juga sudah menyusut, anggapan Binar menjadi doa dan dikabulkan.


Tapi bukanya bahagia, Isyana malah sedih. Isyana pun duduk termenung di atas kloset, lalu meraba dan memeriksa luka jahitanya. Mendadak tubuh Isyana memanas dan dheg- dhegan. 


“Hoh... jangan pulang dulu, Mas Bin. Aku masih takut,” gumam Isyana. 


Sudah jelas kalau Binar pulang pasti menuntut haknya. “Semoga dia pulang setelah luka ini benar- benar sembuh. Duh keramas sekarang apa besok pagi?” gumam Isyana lagi bingung mau bersuci saat itu juga atau menunggu besok memastikan benar- benar sudah bersih. 


“Moom udah!” panggil Putri membuyarkan Isyana. 


“Ya Nak!” jawab Isyana tergesa.


Isyana segera mengganti pakaian dalamnya, lalu membersihkan Putri.


Setelah itu balik ke kamar, menidurkan Putri. Bu Dini tidak komentar dengan gaya Isyana merawat Putri. Begitu Isyana dan Putri keluar gantian Bu Dini yang ke kamar mandi. 


Setibanya di kasur, Putri langsung memeluk Isyana meminta diselimuti dan balas dipeluk. Isyana sama sekali tidak ada kesempatan memegang ponsel. Selain itu, Isyana memang bertekad, saat bersama Putri semaksimal mungkin menjauhkan ponselnya. 


Tidak menunggu bermenit- menit, dengkuran halus Putri terdengar di telinga Isyana.


Baru Isyana mau memutar tubuh mencari ponselnya, suara langkah Bu Dini keluar kamar mandi terdengar. Isyana pun urung mengambil ponselnya. 


“Sudah tidur, Putri?” tanya Bu Dini. 


“Sudah Mah!” jawab Isyana. 


Bu Dini tersenyum lalu ikut naik ke kasur membelai dahi Putri ke belakang, lalu mengecup keningnya. Bu Dini juga ingin tidur memeluk Putri.


“Terima kasih, ya. Sudah merawat cucuku dengan baik!” tutur Bu Dini ke Isyana. 


“Putri anak Isyana Mah!” jawab Isyana mantap. “Isyana akan berusaha memenuhi kewajiban Isyana!” 


Bu Dini mengangguk. “Yah! Apapun itu, terimakasih ya!” lanjut Bu Dini.


Bu Dini menyadari sebagai mertua, Bu Dini tidak mau jahat. Bu Dini ingin menghargai pengorbanan dan apa yang sudah menantu mereka lakukan. 


“Isya mau perah ASI dulu ya Mah!” pamit Isyana hendak memerah ASI sebelum tidur. 


Bu Dini mengangguk mempersilahkan, tapi Bu Dini tidak tidur, dia masih ingin mengobrol dengan anak yang dia kagumi dan sekarang menjadi menantunya. 


“ASI nya banyak kan Nak?” 


“Alhamdulillah  Mah!” jawab Isyana.


“Besok kuliah? Jam berapa ke rumah sakit?” tanya Bu Dini lagi. 


“Kuliah jam 9. Isyana ke rumah sakit setelah antar Putri, Mah!” jawab Isyana lagi. 


“Pulang kuliah jam berapa?” 


“Jam 3 Mah?” jawab Isyana lagi. 


“Ikut Mamah ke salon, yuk!” ajak Bu Dini. 


“Tapi, Isyana pengen jenguk Bian lagi, Mah!” jawab Isyana lagi. 


Sebagai mahasiswa sekaligus Ibu, Isyana memang harus membagi waktunya dengan adil. Malam hari di rumah, Isyana mencurahkan kasih sayangnya untuk Putri. Sebelum dan sepulang kuliah, karena sekarang sudah dekat, Isyana wajib menjenguk dan memastikan Bian segera sehat dan membaik. 


Bu Dini menghela nafasya mencoba mengerti. Padahal Bu Dini mengajak Isyana ke salon, ingin memberi reward ke tubuh Isyana untuk bersantai setelah sibuk dan banyak kegiatan. 


“Apa yang bisa kamu bagi, jangan kerjakan semuanya, bagi dengan yang lain, Nak. Kuliah jangan terlalu keras. Memberi hak ke badan, dirawat untuk tetap sehat dan fresh itu penting. Kamu juga ingin menyenangkan Binar kan?” tutur Bu Dini memberitahu.  


“Iya Mah. Isyana mau ke salon, tapi... Isyana harus jenguk, Bian. Mah!” 


“Ya sudah lain kali ya!” jawab Bu Dini. 


“Memang ke salon, mana Mah?” tanya Isyana. 


"Kalau di sini, Mamah biasanya ke salon anggun yang ada di Mall Sky itu!” tutur Bu Dini memberitahu tempatnya. 


“Kalau kesana kejauhan Mah. Waktu dihabis di jalan. Rumah sakit kan deket sini, Mah. Oh ya ke salon deket greenhouse Isyana aja Mah. Kan sekalian jalan pulang, kalau ke situ, Isyana bisa Mah!” jawab Isyana memberi solusi. 


Bu Dini tampak berfikit. “Iya... yah. Mamah pengen pijat sekalian maskeran ada nggak?!” 


“Ada, Mah. Waktunya sampai maghrib cukup kan Mah?” 


“Cukup, ngantri nggak tapi?” 


“Kalau jam segitu sih kayaknya nggak, Mah. Kalau sebelum ashar ngantri,” 


“Tapi bagus salonnya?” tanya Bu Dini. 


Isyana kan tidak pernaah perawatan pijat dan lain- lain selain saat diajak dan diajari Bu Mutia di Ibukota. Isyana tidak tahu beda kualitas salon perawatan. Bagi Isyana semua sama saja.


“He... Isyana belum pernah nyoba sih Mah. Isyana cuma beli krim aja. Tapi tamunya banyak, kok. Ada dokternya juga. Terapisnya juga orang nakes. Mas Binar juga perawatan di situ lho, Mah!” jawab Isyana meyakinkan dengan semangat.


Isyana memberitahu ke Bu Dini, kalau Binar mau berarti kan kualitasnya bagus. Isyana tidak tahu kalau Binar dulu ke situ bukan perawatan melainkan ngapel ke Isyana. 


“Oh ya?” tanya Bu Dini antusias. 


“Iyah, waktu itu, Mas Binar ke situ, katanya beli skincare!” jawab Isyana lagi. 


Bu Dini mengangguk tapi tampak memicingkan matanya sambil berfikir dan menerawang. Setahu Bu Dini, Binar langganan skincarenya di dokter yang sama dengan Bu Dini. Itu juga seringnya Bu Dini yang bawakan. 

“Sejak kapan Binar ke sana?” tanya Bu Dini lagi jadi makin curiga. 


Isyana diam berfikir menghitung hari. 


“Lupa.. Mah. Tapi sebelum kita pacaran, ehm.. maksudnya sebelum kita deket!” jawab Isyana nyengir dan malu, harus membahas itu. 


Bu Dini diam dan menoleh ke meja rias Binar. Di atas meja, hanya ada skincare yang Bu Dini pesankan. Karena punya Isyana masih dalam pouch kecil. 


“Nama merek di sana apa?” tanya Bu Dini. 


“Krim Sakura Mah!” jawab Isyana menatap Bu Dini.


Bu Dini terus mengeja nama- nama produk yang Binar punya. Isyana juga mengikuti pandangan Bu Dini. 


Isyana jadi ikut berfikir. Kok skincare yang Binar beli tidak nampak.


“Yakin Binar perawatana di sana?” tanya Bu Dini. 


Isyana kemudian hanya diam. 


“Dia nggak perawatan di sana. Dia ngapelin kamu paling!” jawab Bu Dini. 


“Ehm.. ehm... He...,” Isyana jadi semakin malu, seharian ini terus dikuliti mamah mertuanya. 


“Ya sudah, kita coba besok ya! Pijat dan maskeran di sana enak atau enggak!” sambung Bu berhenti buat Isyana malu. Pipi Isyana langsng merah, membuat Bu Dini jadi kasian dan geli sendiri. 


“Iya Mah!” jawab Isyana pipinya merona merah. 


Bu Dini langsung balik badan memeluk Putri. 


Isyana mengemasi Asinya dan menyimpanya dengan baik.


Sambil bekerja Isyana mendesis “Mas Binar berarti bohongin aku?” gumam Isyana. “Aku balas bohongin aja kali ya?” batin Isyana nakal. 


Melirik Bu Dini dan Putri sudah tidur, Isyana mengambil ponselnya dan berpindah ke kamar bekas kamar Putri. 


Sekarang waktunya Isyana bersua dengan Binar via ponsel. 


**** 


Di tempat lain. 


“Kok ditusuk- tusuk terus sih Sus?” omel Lana ke perawat. 


Perawat menghela nafasnya menahan sabar. Sedari tadi sudah tiga kali gagal infus Binar. 


“Pembuluh darah Bapak, ternyata sudah bekas tusukan semua, Pak. Ini masih biru dan bengkak.Sepertinya bekas baru. Jadi kita harus cari yang lain. Bapak belum lama ini, baru dirawat di rumah sakit ya?” tanya Perawat. 


“Hmm... ya udah, kasih aku obat sakit tanpa diinfus saja!” jawab tidak mengiyakan pertanyaan Perawat malah Lana protes. 


Padahal memang benar, Lana baru pulang dari rumah sakit. Baru baikan sebentar, tapi sudah balik minum alkohol dan dipukuli lagi. Alhasil mau diinfus saja, akses pembuluh darah Lana sudah hypo semua. 


Akhirnya Lana hanya dibersihkan di lukanya, diberi salep dan obat minum. Wajah Lana bengkak di pipi, bibir dan juga dekat mata. Ketampanan Lana hilang berubah seram. 


Setelah kurang lebih dua jam dipastikan tidak ada muntah, lebih tepatnya jam sebelas malam, Lana diperbolehkan pulang. 


Bu Mutia tampak duduk menunduk, terlelap, tidak mampu menahan lelah fisik dan batin yang teramat sangat itu.


“Ayo... pulang. Mah!” tutur Lana menepuk pelan bahu ibunya. 


Bu Mutia pun terbangun, mengerjapkan matanya.


"Ayo pulang!" ajak Lana lagi.


“I-ta au uang eana?” tanya Bu Mutia ke Lana.


Kemudian diam menunggu jawaban Lana sambil memandang jauh ke depan. 


Lana yang badanya pegal semua duduk mengusap tengkuknya berfikir. Ke rumah Dinas sudah digembok. Ke rumah pribadi jauh, padahal mobil Lana dipinggir jalan dirusak warga, ke Vila sudah dikunci anak buah Pak Sutopo. 


“Telpon orang kita, Mah. Suruh jemput. Carikan penginapan!” titah Lana cepat. 


Bu Dini menghela nafasnya, ajudan Tuan Wira kan pegawai pemerintah yang digaji negara. Begitu atasanya dicopot dari jabatanya, mereka tidak lagi patuh pada Tuan Wira, malah mereka juga yang bersaksi dan ikut memenjarakan Tuan Wira. 


“Oang ita ang, ana?” tanya Bu Wira lagi menatap Lana. 


Ya, pegawai yang patuh karena uang dan pekerjaan, bukan karena ikatan hati dan segan karena budi pekerti, akan mudah lepas tatkala semua pengikat itu tidak ada.


Jika pangkat hilang karenaa kebaikan atau habis masa jabatan, mungkin seseorang masih menghargai atau setia. Akan tetapi saat pangkat hilang terpaksa karena hal yang mengerikan dan memalukan, mereka pun tak mau kena getahnya. 


“Anak buah papah kan banyak!” jawab Lana enteng. 


“Appa amu upa? a_ah_u ealang i en_ala!” jawab Bu Mutia. 


Lana terdiam, baru sadar. 


“Oangu en_ili ima_na?” tanya Bu Wira. 


“Aku kan juga sudah bukan, pegawai Suntech, Mah. Arbi saja sekarang berpihak pada Binar!” jawab Lana lesu. 


Di tengah malam, di depan parkian rumah sakit yang temaram dan lengang itu, ibu dan anak itu sama- sama terdiam merenung. Mereka sama- sama menyadari keadaan mereka berbalik. Orang yang dulu mereka perintah dengan sekali tunjuk langsung berangkat semua pergi meninggalakan mereka. 


Bu Mutia yang kesal bicara dengan nafas engap- engapan dan tenggorokan sakit, mengambil ponsel dan memberikan ke Lana. 


“Kamu kan sekarang ssuaminya, Amanda. Coba telepon dia!” celetuk Bu Mutia kemudian. 


“Mah!” pekik Lana tersentak. 


“Kenapa? Minta bantuan pada istri barumu!” 


“Ck... pernikahan tadi itu formalitas, biar kita cepat pergi dari orang- orang sialan itu! Lana nggak cinta sama Amanda, Mah!” jawab Lana ternyata tidak menerima pernikahanya. 


“Api amu, udah, eniah!” jawab Bu Mutia. 


“Tapi ini pernikahan konyol. Lana udah dua kali  salah menikah. Mamah mau Lana menyesal lagi?” omel Lana beralibi, menjadi orang baik yang iingin memperbaiki jalan menikahnya. 


Bu Mutia pun berdecak.


“Aian, kan u_dah...” tutur Bu Mutia menggerkan tanganya memberi kode, kalau Lana dan Amanda sendiri yang melakukan hubungan badan. 


“Kita nggak sadar Mah!” jawab Lana membela diri. 


Bu Mutia kembali menyangkal, sadar atau tidak sadar Lana sudah melakukanya. 


“Mamah nggak tahu sih? Keluarga Amanda itu terkenal pelit dan otoriter, kenapa mamah setuju sih, buat ambil solusi menikah? Aku nggak mau tinggal di rumah lukman jadi budaknya!” omel Lana lagi. 


Lana tahu Amanda sejak masa sekolah, jadi tahu cerita- cerita tentang keluarga Amanda, juga watak Amanda dalam berbisnis. 


Tapi Lana tidak tahu kalau yang ngotot, bahkan berusaha mengimbuhi cerita itu Bu Mutia agar Amanda menikah dengan Lana. 


“Itu bisa kita carikan solusinya nanti. Yang penting sekarang kita pulang. Jam segini di pegunungan begini tidak ada angkutan. Grabcar pun jauh. Adanya ojek. Kamu nggak kasian ke mamahhmu ini? Minta bantuan orang Manda untuk jemput kita. Mamah sudah tua, dingin, badan mamah sakit semua!” ketik Bu Mutia kesal ke Lana. 


Lana membacanya lalu mendesis kesal, tapi memang di sekitar situ jam 12 malam tinggal tukang ojek. 


“Kalau Mamah sakit, kamu mau sama siapa?” ketik Bu Wira lagi. 


“Ya...Lana telpon Amanda!” jawab Lana akhirnya membuang gengsinya menghubungi Amanda.


"Dia, sekarang. Istrimu!" ketik Bu Mutia lagi.


Jangan lupa klik perbab ya kak biar semangat adminnya maakaccihh 😘


Bersambung


Klik ini Untuk Lanjut ke bab Berikutnya 


gimana moms serukan kisah ini mempunyai plot alur cerita yang susah di tebak,ini permulaan yah moment yang menegangkan ada di pertengahan cerita.yuk kita lanjut lagi gaskuennnn







Posting Komentar untuk "Istri yang terabaikan Bab 242"