Istri yang terabaikan Bab 223

 Hello moms kembali lagi admin akan memberikan novel gratis yang sangat seru,novel ini merupakan salah satu novel yang lagi viral di FB loh..Novel ini menceritakan tentang balas dendam seorang istri yang tak anggap.Novel ini sangat seru loh moms dan mempunyai banyak penggemar setia.


Novel yang Berjudul “ ISTRI YANG TERABAIKAN “ ini menceritakan kisah seorang istri yang diabaikan oleh suaminya yang ssuka marah dan tidak menghargainya sebagai istri,kisah yang membuat kita larut ke dalam alur ceritanya ini sangat patut untuk dibaca yuk simak Novel nya…cekidot 😘🥰


223 Bersyukur


Lana berteriak, bersimpuh di lantai menghempaskan. Bahkan tangan Amanda yang mencoba menenangkan dihempaskanya.


Dengan mengepalkan tangan Lana memukul lantai sekuatnya. Rasa pegal akibat benturan lantai tak sebanding dengan gemuruh di dadanya.


Kata surat pemecatan akan segera datang, seperti petir menggelegar yang menyambar, memecahkan gendang telinga Lana juga Bu Mutia dan memberikan rasa sakit yang tak terkira.


Betapa tidak, bertahun- tahun Lana membangun karir bahkan termasuk di dalamnya memanipulasi data saat pemeriksaan kesehatan, demi bisa mempunyai jabatan dan kedudukan yang terhormat, dalam sekejap apa yang sudah dia genggam lenyap begitu saja.


Lana juga selalu merasa Isyana miliknya, di bawah kendalinya layaknya budak, kini berani bersinar dan diberi tahta oleh orang lain meninggalkanya.


Amanda yang menyaksikan kehancuran Lana bergidik, itu seperti cambukan untuk dirinya. Pepatah roda berputar itu nyata ada di depanya.


Akan tetapi Amanda masih bingung, dalam hal ini siapa yang salah, kenapa Binar menikahi mantan istri Lana.


"Lana... sabar!" lirih Manda memberanikan diri menepuk pelan bahu Lana lagi.


Amanda bersimpati, pasti Lana syok kehilangan jabatan di saat mantan istrinya menikah dengan orang lain, ibunya sakit dan ayahnya masuk penjara.


Bahkan sekarang semua stasiun televisi, dan media sosial sedang membicarakanya. Mungkin juga mencari tahu keberadaan mereka. Rumah Dinas Tuan Wira juga tampak ramai.


Sementara Bu Mutia duduk terpaku menitikan air mata. Dia tak senekat Lana yang tanpa takut melepas infusnya. Bu Mutia masih sadar dirinya butuh obat yang dimasukan lewat infus dan memilih tidak beranjak.


"A na... aa al,... a un a h!" lirih Bu Mutia meminta Lana bangun.


Lana masih menangis di lantai. Amanda sahabatnya pun terus berusaha menenangkanya.


"Bangun Lan. Kamu tidak seharusnya di bawah seperti ini kan? Kamu pasti bisa melewati semua ini. Aku tahu kamu strong!" tutur Amanda lagi.


Lambat laun Lana bangun berdiri walau menolak saat tangan Amanda membantunya. Lana kemudian menatap ibunya yang duduk di kursi roda tak bisa berbicara dengan benar dan terdapat infus terhubung di tanganya.


"Apa yang terjadi denganmu Mah? Papah dimana?" tanya Lana kemudian.


Bu Mutia tidak menjawab dan melirik Amanda. Amanda menunduk ketakutan.


Lana mengikuti arah tatapan Bu Mutia yang menatap Amanda. Amanda semakin terpojok dan tidak berani menatap Lana. 


“Kenapa Amanda selalu ada di sini, aku tidak mengundangmu, kenapa kamu membantuku? Kenapa kamu tahu aku dirawat di sini?” tanya Lana lagi baru menyadari kejanggalan Amanda.


“A.k a.a.a. oong, e i, a u a na!” tutur Bu Wira gagu, menatap ke Amanda meminta Amanda cerita.


Lana semakin kaget dan menatap Mamahnya. 


“Mamah kenapa Mah, Mamah kenapa ngomongnya jadi begini?” tanya Lana lagi semakin gusar dan panik.  


Bu Wira pun menatap Lana dengan raut sedihnya, lalu menoleh ke Amanda menganggukan kepala sebagai bentuk permohonan agar Amanda mau cerita. 


“Ada apa ini? Beritahu aku cepat!” ucap Lana emosi. 


Amanda menelan ludahnya mengumpulkan keberanian untuk menceritakan ke Lana. Lana pun terus menatapnya. 


“Aku minta maaf, Lana!” ucap Amanda lirih dan menatap wajah Lana ragu.  


“What? Minta maaf? Apa yang kamu lakukan?” tanya Lana masih tidak mengerti. 


Amanda melirik ke Bu Mutia lagi. Bu Mutia masih dengan wajah tuanya, memberikan anggukan dukungan pada Amanda. Amanda kemudian menatap Lana. 


“Kemarilah, darahmu harus dibersihkan dulu. Aku akan ceritakan semuanya,” tutur Amanda berjalan ke sofa sambil meraih tisu basah.


Amanda melihat tangan Lana bekas infus yang ada bercak darahnya. Berharap Lana tidak marah setelah tahu dia sudah mencelakai ibunya, Amanda rela membersihkan tangan Lana dengan pelan dan lembut.


Lana diam dan canggung, Amanda memperlakukanya dengan halus dan lembut. Ada desiran aneh yang datang, namun Lana tidak menampakanya dan memilih diam seribu bahasa. 


Setelah bersih, setelah susunan kata terkumpul di otaknya, Amanda pun merangkai setiap katanya menjadi susuna kalimat menceritakan semua yang sudah dia lalui. 


“Jadi kamu mau membunuh Isyana! Kurang ajar!” bentak Lana marah dan hendak memukul Amanda. 


“Ak” Amanda segera menghindar dan menutup mukanya dengan kedua tanganya. 


“A na!” Bu Mutia pun dengan cepat meraih tangan Lana dan mencegah Lana menyakiti Amanda. 


“Mah, dia mau bunuh Isyana dan Mamah sekarang begini?” jawab Lana emosi dan tidak terima. 


“Maafkan aku...,” lirih Amanda. 


Bu Mutia terus menggelengkan kepalanya dan menenangkan Lana. 


“Ii u an a e na, ia!” jawab Bu Mutia menunjuk Amanda, “Ii a e na, I nal,” tutur Bu Wira lagi menyalahkan Binar. 


Bu Wira sangat membenci Binar, apalagi setelah suaminya tertangkap, dan sekarang anaknya dipecat. 


Lana berusaha memahami mamahnya walau masih bingung. Bu Mutia kemudian menoleh ke Rida yang sedari tadi duduk ketakutan. 


Bu Mutia meminta ponselnya kemudian menunjukan video penangkapan Tuan Wira. 


“Bre_ng seeek!” Emosi Lana meletup lagi, bahkan Lana menitikan air mata, tanganya mengepal dan memukul meja rumah sakit sekuat tenaga. 


Bu Wira kemudian mengelus punggung Lana lembut, Amanda dan Rida hanya diam di tempat. 


“Ia aa iih u na, a ham an?” tanya Bu Mutia. 


Lana menoleh dan menunjukan tanya tidak begitu jelas. Merasa gemas, Bu Mutia kemudian mengetik kata lagi. 


“Jangan menangis dan rapuh, kita harus segera sehat dan tolong papahmu! Ingat kita masih punya saham! Kita harus hadapi ini semua,” 


Lana yang membacanya pun mengangguk. 


“Ya Mah, kita masih punya saham. Dipecat bukan akhir untukku. Aku yakin, Om Priangga dan Binar tidak akan mampu membeli saham kita. Mereka akan kolaps jika kita tarik saham kita dalam waktu dekat!” jawab Lana bertekad. 


Bu Wira kemudian menoleh ke Amanda, dan mengetik pesan ke Amanda. 


“Kamu mau bantu kami, kan Nak?” tanya Bu Wira. 


**** 


Binar menggenggam erat tangan Isyana, berjalan menyusuri lorong rumah sakit milik perusahaan Suntech, mereka segera keluar.


Niat baik memang tak selalu membawa hasil yang baik jika tidak tepat pada siapa diberikan. Padahal Isyana dan Binar sudah mengorbankan waktu mereka untuk jenguk Lana lebih dulu. 


Mereka berfikir, sekalian menanyakan keadaan bayinya, mereka juga ingin segera mengurus berkas surat kelahiran dan akta kelahiran bayi mereka kemudian juga dimasukan ke KK mereka yang baru. Itu sebabnya, Binar ingin pangeran kecilnya segera punya nama. 


“Tau gini, kita ke adek aja, Mas! Dasar, orang jahat, didatengin baik- baik malah gitu! Nyeesel Isya!” gerutu Isyana sambil berjalan menuju ke mobil yang sudah menunggu Isyana dan Binar di depan loby rumah sakit. 


Binar kemudian menoleh ke Isyana tersenyum sambil mengacak- acak rambut Isyana. 


“Masa? Bukanya seneng ketemu mantan?” jawab Binar malah membercandai Isyana. 


“Isssh, apaan sih!” jawab Isyana mendesis langsung memukul Binar. Bisa-bisanya Binar bilang Isyana senang.


“Ya kali kangen... mantan!” jawab Binar lagi. 


“Ih!” Isyana mencubit Binar lagi dengan mengkerutkan kening dan mengkerucutkan bibirnya. 


“Amit- amit deh, kangen sama orang kaya gitu!” gerutu Isyana dengan kesal yang bertumpuk dikatai kangen Lana. 


Binar malah semakin terkekeh melihat Isyana mulutnya komat kamit dan bersungut- sungut. 


“Nggak lucu tahu nggak bercandanya!” ucap Isyana kesal belum selesai ingin ngomel ke Binar.


Binar tidak peduli dan tetap terkekeh senang sekali menggoda Isyana yang manis dan imut itu.  


“Udah.. udah,, silahkan masuk, Tuan Putri!” jawab Binar masih tetap dengan muka rese dan senyum tengilnya menatap Isyana yang bibirnya mengkerucut sempurna. Binar membukakan pintu mobil untuk Isyana. 


Walau masih kesal ke suaminya karena dikatain kangen Lana, Isyana tetap masuk, tapi dahinya mengkerut, dan tatapanya ke luar enggan menoleh ke Binar.


Sebab yang memutuskan jenguk Lana dulu Binar bukan Isyana. Sebelumnya sepanjang jalan Isyana merengek ingin segera melihat bayinya. 


“Udaah nggak usah cemberut gitu, yang abis ketemu mantan, tuh harusnya seneng!” 


Semakin Isyana cemberut, semakin Binar senang mengerjai istrinya. Sementara Isyana yang bencinya ke Lana, semakin tidak tahan digoda Binar. 


“Ih.. ih...! Sebel banget sih, mantan- mantan! Siapa juga yang seneng. kesel banget!” serbu Isyana tidak terima dan terus memukul Binar bahkan kali ini mencubit Binar sekuat tenaga. 


“A.ak! Au!” Binar pun menghindar dengan manja tapi senang.


“Hhh.. bilang aja Mas yang seneng ke sini!” ucap Isyana kemudian dan tanganya bersedekap dengan wajahnya yang cemberut sempurna. 


“Wo? Aku?” pekik Binar terbengong masih ingin meledek Isyana.


“Mas ajak kesini duluan karena pingin liat Amanda itu kan? Kalau emang naksir dia seneng sama dia. Ya udah sana nikahin dia aja jangan aku! Pantesan rela dipukul!” jawab Isyana bersungut- sungut dan kali ini marah beneran, bahkan matanya mulai memerah. 


“Ehm...,” Binar jadi mendadak kelimpungan melihat Isyana beneran marah. 


Padahal, buat Binar ada sensasi bahagia sendiri melihat pipi Isyana menggembung saat cemberut, seperti panda yang menggemaskan. 


“Kok sampai Amanda, sih. Siapa juga yang naksir Amanda!” jawab Binar lirih dan serius.  


Isyana tidak menjawab dan bersedekap menoleh ke jendela mobil, bahkan diam- diam Isyana terisak dan meneteskan air matanya. 

“Lhoh kok nangis?” tanya Binar beneran kelimpungan, lalu berusaha merayu berusaha meraih Isyana dan memintanya menoleh.


Isyana menepis tangan Binar kesal. 


“Nggak usah pegang- pegang!” jawab Isyana tidak mau dipegang Binar. 


“Duh marah beneran, iya – iya maaf, Mas bercanda. Gitu aja baper!” ucap Binar lagi. 


Dikatai baper, Isyana semakin marah dan menoleh ke Binar kesal. 


“Mas bilang apa? Baper? Mas bilang aku baper?” tanya Isyana marah menitikan air mata.


“Nggak... nggak, duh salah lagi! Maap maap! Iya Mas canda!” jawab Binar. 


“Turun! Pak! Turun! Aku mau naik taksi aja!” ucap Isyana terisak menepuk pak Supir dan pundung.


“Eee... e jangan! Apaan sih! Iya Mas maaf, mas bercanda!” jawab Binar lagi. 


Isyana diam tapi masih ngambek. 


“Please! iya.. iyaa maafin Mas!” rayu Binar lagi. 


Isyana masih diam. 


“Jangan marah dong, mau ketemu adik bayi masa marah? Ya, Mas minta maaf. Pikir mas tadi kan kalau udah pamitan sama ayahnya, kelak kalau ada apa- apa kita tidak ada kesalahan," jawab Binar menuturkan dengan serius. 


Isyana yang sebenarnya sudah paham diam tidak menjawab, entah kenapa rasanya masih dongkol. 


"Maafin ya. Senyum dong jangan nangis. Maaf. Abis ini kita bikin akta dan kk.ya! Maap abis kamu imut banget kalau marah, jadi mas suka candain kamu!”


Binar terus merayu Isyana walau Isyana diam.


Karena Isyana tidak menjawab, Binar kemudian menggeser tubuhnya merapat ke Isyana. Isyana yang kesal dinakalin Binar tidak diam ikut bergeser. Binar juga terus merapat dan Isyana mentok ke pintu. Hari itu Binar mengenakan sedan mewahnya. 


“Ih sesak Mas!” keluh Isyana akhirnya setelah terhimpit ke pintu mobil.


Binar pun terekekeh dan mengulurkan tanganya merengkuh bahu Isyana. 


“Ya udah makanya, jangan ngambek- ngambek gitu makanya! Kesini lagi duduknya Sini sandaran sama Mas!” jawab Binar lagi.


“Ya Mas, juga jangan suka nyakiitin hati Isyana, makanya!” jawab Isyana masih kesal.


“Iya Maap!” 


“Janji nggak usah bahas- bahas mantan lagi!” 


“Iya janji!” jawab Binar akhirnya.


Binar mengikuti gaya putri menawarkan jari kelingking. 


Isyana yang merasa sudah tua hanya berdecih dan justru menangkup semua tangan Binar menurunkanya untuk tidak seperti anak kecil. 


“Bukti! Bukan janji! Awas kalau bikin kesel lagi!” jawab Isyana mengancam.


“Hehe, yaya!” jawab Binar lega Isyana sudah sembuh marahnya. 


Binar kemudian mengeratkan pelukanya dan menciumi kepala Isyana dengan gemas. 


“Masih mau pakai nama Hanggara apa nggak? Apa mau pakai nama Mas aja?” tanya Binar kemudian. 


“Nggak usah bawa nama orang tua lah Mas, biar anak kita kelak besar dengan membawa nama sendiri tanpa ada embel- embel orang tuanya! Biar jadi manusia yang mandiri!" jawab Isyana. 


“Oke!” jawab Binar mengangguk setuju. “Pakai nama pilihanmu berarti ya!” 


“Iyah!” jawab Isyana. 


Mereka tadi memang sudah punya alternatif nama yang Isyana ajukan, tanpa membawa nama Hanggara, Priangga atau Atmadja. 


Binar pun menatap Isyana dengan penuh cinta, lalu meraih tanganya dan menelusupkan jari jemarinya sehingga mereka saling menautkan tangan.


"Jangan marah lagi ya?" bisik Binar lalu meletakan kepalanya ke bahu Isyana.


Isyana dan Binar kembali sama- sama diam menikmati perjalanan di Ibukota. Bahkan mata Binar terpejam.


“Mas...,” panggil Isyana merasa masih ada yang mengganggu hatinya. 


“Hmmm,” jawab Binar bercampur kantuk, karena jalanan macet. 


“Amanda cantik yah?” celetuk Isyana lirih


“Yaaa...,” jawab Binar jujur dan tanpa beban.


Binar tidak tahu kalau Isyana yang iseng tanya itu sedang dilanda insecure dan cemburu. 


“Dia seksi juga kan?” tanya Isyana berlanjut lagi. 


“Ya,” jawab Binar lagi. 


Isyana semakin sesak dan menegang mendengarnya.


“Dia sering datang ke kantor Mas? Kalian sering ketemu?” tanya Isyana lagi sekarang insecurenya sudah merambat jadi curiga. 


“Kita kan kerjasama, ya sering!” jawab Binar lagi. 


“Mas suka ya, liat perempuan seksi begitu?” tanya Isyana lagi kali ini benar- benar sudah masuk ke tahap cemburu parah. 


“Ya suka!” jawab Binar lagi reflek sembari ngantuk. 


“Ih!” Isyana yang sudah terperangkap dengan pertanyaannya sendiri langsung terbakar cemburu dan melepaskan tangan suaminya kerasa, kemudian ngambek lagi. 


Dengan barang dan foto peninggalan Tiara saja Isyana cemburu. Sekarang Isyana melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Amanda, perempuan yang katanya mencintai Binar seperti miss universe cantik tinggi walau sudah usia kepala 3. 


Binar yang ngantuk tersentak kaget. 


“Lhoh kok marah lagi sih? Salah mas apa?” tanya Binar pusing. 


“Jadi dia juga berdiri kalau liat Amanda?” tanya Isyana lirih melirik ke pangkal paha Binar. Kemudian melirik ke supir merasa tidak nyaman. 


Binar yang ditanyai begitu jadi terkekeh dan tertawa geli. 


“Jadi ceritanya kamu lagi cemburu?” tanya Binar.


“Jawab dulu?” 


“Jawab apa?".


"Isyana kan pendek dan nggak seksi kaya Amanda. Mas katanya suka liat Amanda. Berarti...?" tanya Isyana terhenti malu meneruskan.


Isyana sebenarnya tertekan dan takut merasa kurang dan bersalah karena belum bisa membahagiakan Binar.


Binar malah terkekeh mendengar Isyana cemburu.


"Ya nggaklah Sayang, dia hanya berespon saat sama kamu! Makanya kamu jangan ngehindar kalau Mas deketin kamu!” jawab Binar. 


Isyana menelan ludahnya. 


“Tapi katanya Mas suka liat yang seksi, kaya Amanda gitu? Aku kan nggak!” 


“Ya kan suka bukan berarti langsung bereaksi dan bertindak yang melampaui batas, Yang? Sekedar suka liat wajarnya laki- laki!” 


“Suka kan?" jawab Isyana masih ngambek. 


“Ya keindahan kan emang harus dinikmati, mas kan jujur. Tapi bukan berarti nabrak tiang, sebatas liat yang udah di depan mata aja. Masa mas harus tutup mata?” 


“Tuh kan?” 


“Tuh kan gimana? Nih dengerin Mas. Dia emang seksi dan cantik, tapi cuma enak diliat aja, itu juga semua orang liat kan. Tapi Tidak untuk dimiliki. Mas lebih suka dan tertarik sama kamu. Kamu yang paling cantik, Pokoknya Cuma kamu!” jawab Binar merayu. 


Seketika pipi Isyana memerah meski masih ngambek. 


“Bohong, Amanda tinggi nggak kaya Isya, dia juga alisnya rapih banget, hidung dan rambutnya juga nggak kaya aku, semuanya indah,!” jawab Isyana lagi masih insecure.


Binar terkekeh, lalu meraih dagu Isyana. Tanpa ijin, Binar dengan lembut memberikan kecupan di bibir mungil Isyana yang sedang merajuk. 


Seketika tubuhnya meleleh seperti ada aliran listrik yang menjalar dan membuat Isyana terbengong.


“Dengerin Mas, alis Amanda cantik karena sudah disulam, hidungnya bagus begitu karena filer. Cantik memang kamu juga bisa kalau kamu mau! Tapi! Lihatlah alis tebalmu, ini alis buatan Tuhan, bibir ini hidung ini, semua pemberian Tuhan, yang hanya ada di kamu, tidak bisa ditiru dan disamai. Dan ini semua jadi favorit Mas!” tutur Binar menyentuh satu persatu bagian muka Isyana. 


“Kamu paling cantik buat Mas! Hiduplah dengan sehat dan nggak usah macam- macam, mengerti? Jangan bandingkan dengan orang lain! Syukuri yang kamu punya, rawat dan bersihkan untuk Mas. Kamu harus percaya diri!” tutur Binar lagi 


Pengalaman Tiara yang terkena sakit mematikan membuat Binar sangat hati- hati dan ingin melindungi semua orang yang dia sayangi sekarang. Binar sudah pernah memilik Tiara yang punya segalanya. Membuat Binar sekarang merubah pandanganya terhadap perempuan.


“Ehm... iya!” jawab Isyana kemudian.


Jangan lupa klik perbab ya kak biar semangat adminnya maakaccihh 😘


Bersambung


Klik ini Untuk Lanjut ke bab Berikutnya 


gimana moms serukan kisah ini mempunyai plot alur cerita yang susah di tebak,ini permulaan yah moment yang menegangkan ada di pertengahan cerita.yuk kita lanjut lagi gaskuennnn







Posting Komentar untuk "Istri yang terabaikan Bab 223"