Istri yang terabaikan Bab 187

 Hello moms kembali lagi admin akan memberikan novel gratis yang sangat seru,novel ini merupakan salah satu novel yang lagi viral di FB loh..Novel ini menceritakan tentang balas dendam seorang istri yang tak anggap.Novel ini sangat seru loh moms dan mempunyai banyak penggemar setia.

Novel yang Berjudul “ ISTRI YANG TERABAIKAN “ ini menceritakan kisah seorang istri yang diabaikan oleh suaminya yang ssuka marah dan tidak menghargainya sebagai istri,kisah yang membuat kita larut ke dalam alur ceritanya ini sangat patut untuk dibaca yuk simak Novel nya…cekidot 😘🥰


187 BreastCare


Binar mengangkat bibirnya tersenyum. Akhirnya dia melihat sisi lain dari Isyana tanpa mengintimidasinya.


Ada kebanggan yang datang merangkak, kemudian duduk dan bersemayam menempati ruang hatinya. Bukan hanya cinta yang lahir dari kasian, tapi Binar bangga melihat Isyana yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.


Isyana membelanya, mempertahankan harkatnya sebagai suami. Isyana juga mematuhinya dan Isyana berani dengan membuat Lana dan Bu Wira terdiam.


Binar diam memilih menunggu respon dari Lana dan Bu Wira.


“Suami?” pekik Bu Wira wajahnya langsung memerah dan urat syarafnya menegang.


“Ya... Mas Binar sekarang suami, Isyana. Ibu Mutia Larasati yang saya hormati. Mas Binar suamiku!” tutur Isyana lantang.


“Kaliaan...,” geram Bu Wira menatap Isyana dan Binar dengan tatapan sinis dan mengepalkan tanganya.


Semua perkataan Isyana cukup menohok. Akan tetapi hati Lana dan Bu Wira sudah terlanjur tertutup lumpur hitam penuh ambisi. Mereka pun tak mau kalah dan terus merasa benar.


“Mamah lihat kan? Dia bahkan mengatai kita! Bagaimana bisa kalian melangsungkan pernikahan? Pernikahan kalian tidak sah dan ini lelucon? Kamu hamil anakku Isyana,” ucap Lana ikut geram dan tidak terima mendengar pernikahan Binar dan Isyana.


“Kenapa Mas? Apa ada yang salah dengan perkataanku? Kenapa tidak sah? Aku janda dan Mas Binar duda!” jawab Isyana lagi menatap Lana dengan tatapan benci dan kesal.


Isyana jijik sekali saat Lana mendekatinya dan mengajaknya kembali. Hanya saja saat di rumah Lana, Isyana kan dalam misi, jadi Isyana berusaha tenang.


Sekarang Isyana sudah dapatkan semua buktinya jadi Isyana tidak takut lagi.


Lana semakin merasa tersakiti dengan ucapan Isyana. Pernyataan Isyana menjadi guncangan hebat dan menjadi batu besar yang menghunjam Lana. Pertama merasa diberi harapan palsu, ditolak, kemudian dihianati dan sekarang dengan nyata dan lantang Isyana memakinya.


“Isyana... aku bahkan sudah menceraikan Mika demi kamu, aku mengakui kesalahanku, aku mencintaimu, aku mengupayakan yang terbaik untuk anak kita, tapi ini balasan yang kamu berikan padaku? Kamu lebih memilih dia daripada aku? Aku ayah anakmu Isyana! Kamu tega memisahkan anakmu dari ayahnya?” jawab Lana mengiba.


“Hooooh....,” Isyana pun hanya bisa terbengong menghela nafasnya. Isyana kemudian tersenyum simpul.


Kenapa ibu dan anak ini pandai memutar balikan fakta.


“Mas Lana. Kamu menceraikan Mika atau tidak itu bukan urusanku. Ingat ya Mas. Kamu yang sudah menceraikan aku. Kamu yang mengusirku? Aku harap kamu tidak hilang ingatan? Atau jangan- jangan kau lupa? Tapi maaf aku tidak bisa melupakannya. Aku bisa memaafkanmu, tapi tidak bisa melupakan semua perbuatanmu. Apa salahnya kalau aku memilih Mas Binar?”


“Aku ragu kamu mempunyai cinta Mas? Kalau kamu memang mencintaiku, seharusnya dulu kamu melihatku? Melihatku yang berjuang mempertahankan rumah tangga kita atas nama pengabdian. Seharusnya kamu mendengarkan aku daripada Mika. Dulu kamu bilang mencintai Mika padaku, lalu kamu menceraikan aku, dan sekarang kamu menceraikan Mika karena mencintaiku? Tidak bisa kupercaya seorang Lana Hanggara sepicik ini. Aku kasian padamu, Mas!” tutur Isyana panjang mengeluarkan semua unek- uneknya mengatai Lana.


“Prok.... prok...,” Bu Wira malah bertepuk tangan dengan nada sinisnya.


“Pandai sekali kamu mengatai Lana dan menutupi aib kalian? Bagaimana bisa perempuan hamil dan baru saja diceraikan, menikah dengan laki- laki yang belum genap 40 hari ditinggal istrinya? Kuburan Tiara belum kering. Apa nama kalian kalau bukan tidak tahu malu? Menikah dengan aturan dan cara apa kalian? Dan kamu masih bisa mengatai Lana?” sambung Bu Mutia kembaali menyerang Isyana dengan tuduhannya.


Kali ini Binar tidak tinggal diam.


“Tante Mutia, tolong jangan buang waktu kami. Biarkan kami masuk. Dan silahkan pergi!” Tutur Binar masih sopan karena merasa tidak level bersi tegang di fasilitas umum melawan orang tua.


Sayangnya Bu Wira yang dihormati sebagai orang tua, tidak menyadari dirinya sudah tua.


“Kalian tidak pantas menjadi orang tua untuk cucuku. Aku tidak akan biarkan kalian merawat cucuku. Pernikahan kalian tidak sah!” tutur Bu Wira geram.


Binar pun tersenyum sambil menggelengkan kepala. Tensi emosi Binar mulai naik. Melawan emak emak tua ternyata menyebalkan, lebih menyenangkan melawan anaknya adu jotos satu satu.


“Tante. Kalau kalian menanyakan pernikahan kami? Isyana sudah melahirkan anaknya. Aku seorang duda dan bahkan Tiara yang menyuruhku menikah. Apa masalah kami menikah. Saya menikah secara baik – baaik beberapa menit lalu! Maaf, karena kami ingin menikah dengan hikmat jadi Tante tidak kami undang, tapi besok kalau kita syukuran, kita undang kalian kok!” jawab Binar lagi berusaha tenang tapi mengejek.


Bu Wira semakin terpancing lalu menatap Isyana.


“Jadi hanya karena ingin menikah denganya? Kamu bahkan memaksa bayimu keluar sebelum waktunya? Ibu macam kamu! Kamu tidak pantas jadi ibu? Kamu perempuan egois yang mementingkan biraaaahimu dan kamu keji karena kamu ingin membunuh anakmu demi hawa nappsumu Isyana!” jawab Bu Mutia kembali menyerang Isyana.


Bu Mutia tidak berani menatap Binar akan tetapi terus mengintimidasi Isyana agar stress dan merasa bersalah.


“Bu Mutia. Stop!” pekik Binar sekarang mulai meninggi.


“Lama- lama keterlaluan kalian ya! Lana yang menyebabkan Isyana melahirkan prematur. Bukan Isyana. Seharusnya kami yang bertanya bagaimana bisa putra seorang pejabat tidur dengan mahasiswa, membawanya pulang ke rumah dan kemudian mengusirnya begitu saja? Bahkan membiarkan perempuan yang mengandung anaknya, hidup terlunta di jalan? Ayolah. Sadari kesalahan kalian. Tolong jangan halangi kami menemui anak kami!” tutur Binar lagi.


“Bug...,”


Lana akhirnya kehilangan kesabaran dan memukul Binar.


“Dian anakku, bukan anakmu!” ucap Lana geram.


“Astaghfirulloh, Mas!” pekik Isyana kaget mau melerai tapi tidak bisa.


Kursi roda Isyana pun sedikit bergeser karena Lana bergerak maju dan Binar yang tidak siap terdorong Lana.


Meski mendapat pukulan yang kesekian kalinya dan sesungguhnya Binar juga merasakan sakit, Binar malah tersenyum. Binar siap adu tinju tapi di ring tinju bukan rumah sakit tak beretika.


Binar juga malah menerima dan senang. Betapa tidak, tindakan Lana mengundang sekuriti dan membuat orang mendekat. Binar juga melihat cctv.


Bukanya bangun, Binar malah semakin berakting sakit. Lalu orang- orang menolong Binar dan security menahan Lana.


“Minggir kalian! Kalian tidak tahu siapa aku?” ucap Lana masuk dalam perangkap emosinya sendiri tidak terima didatangi banyak security dan pengunjung pasien.


Bu Wira pun kalangkabut malu, karena Lana lepas kendali. Bu Mutia pun menelpon ajudanya yang tadi tertahan di pintu masuk tidak boleh masuk oleh aturan rumah sakit.


“Ini rumah sakit, Pak! Tolong jangan buat keributan! Ayo ikut, kami!” tutur satpam rumah sakit berani.


Security di rumah sakit sudah melewati pelatihan dan mempunyai integritas tinggi.


Satpam kemudian mengamankan Lana.


Mau tidak mau, Bu Wira mendampingi Lana dan meninggalkan Binar dan Isyana. Ajudan Bu Wira kalah karena rumah sakit Isyana bukan rumah sakit yang dibawahi Tuan Hanggara.


Walau, mampu menjawab dan berani melawan Bu Wira Dan Lana, sebagai seorang ibu yang memang menyesali keadaan bayinya yang tidak normal, Isyana cukup terpukul. Isyana menitikan air matanya.


Walau mungkin benar, Binar mengambil keuntungan dari situasi ini, akan tetapi ibu mana yang menginginkan bayinya prematur. Isyana tanpa dituduh Bu Wira memang sudah cukup down dan sedih.


“Mereka orang gila jangan dengarkan mereka!” tutur Binar ke Isyana.


“Iyah! Mas terluka. Apa sakit?” jawab Isyana berusaha tegar tidak mau menangis lagi walau hatinya sakit.


“Tidak! Sudah lupakan. Cepat! Ayo kita tengok dhedhek!” ajak Binar masuk.


Isyana mengangguk.


Binar kemudian mendorong Isyana masuk ke ruang rawat. Perawat pun membiarkan Isyana masuk.

Akan tetapi, Binar hanya sampai depan pintu, rupanya profesionalitas perawat di ruang itu tinggi. Bukan hanya Lana, Binar pun tidak boleh dan benar hanya ibu bayi yang boleh masuk.


“Silahkan...,” tutur Binar membiarkan perawat yang mendorong Binar.


Sesampainya di dalam ruangan, masih dengan satu selang infus yang menempel. Isyana tak kuasa menahan tangisnya.


“Huuughs... huuuugsh!” Isak Isyana begitu sesak.


Hati Isyana hancur, seperti ada sayatan yang menusuk dan mengoyaknya hingga remuk. Bayi gembil dan lucu yang Isyana bayangkan sebelumnya tak nampak di pandangan Isyana. Pantas Binar tidak mau memperlihatkan fotonya, hanya bilang nanti tapi tak kunjung memberi.


Di dalam ruang kecil dan sempit nan canggih yang orang sebut inkubator, ada banyak alat yang terpasang mengelilingi makhluk kecil dengan warna merah.


Sama sekali tidak imut, tapi seram seperti alien. Belum ada daging sama sekali, jari- jarinya terlihat masih sangat kecil dan lembut, tak banyak bergerak.


“Huuughs... huuughs...,” Isyana terus menutup hidungnya agar tangisnya tak bersuara, akan tetapi air matanya terus mengalir.


“Maafkan ibun, Nak... maafkan Ibu tidak bisa menjagamu, kamu harus sesakit dan menderita begini?” ronta Isyana tidak menyangka rupa bayinya yang terpaksa dia lahirkan masih sangat memprihatinkan.


Perawat yang mendampingi Isyana pun mengeluarkan empatinya.


Dia mengerti bagaimana perasaan Isyana, apalagi kedatangn Bu Wira dan Lana yang meciptakan desas desus di kalangan perawat.


“Sabar, Bu... sabar yaah!” tutur Perawat mengelus bahu Isyana. “Ibu harus sabar dan kuat, Dhedhek dengar ibu lho...,” tutur perawat.


“Apa saya boleh memegangnya, Sus?” tanya Isyana sambil menyeka air matanya.


“Cuci tangan dulu ya, Bu! Saya ajari cuci tangan ya,” tutur perawat.


Perawat pun mengajari Isyana cuci tangan dengan benar sebelum menyentuh bayi yang masih sangat rentan.


Setelah itu, Isyana pun memberanikan diri menyapa bayinya dengan sangat lembut.


Perawat kemudian pamit dan memberikan ruang pada Isyana bersua dengan tubuh kecil yang selama kurang lebih 7 bulan bersemayam dalam perutnya.


Entah apa, yang Isyana katakan, hanya Isyana dan bayinya yang mendengar.


Binar bersedekap, menghargai aturan, menunggu dengan sabar dan melihat dari kejauhan.


15 menit berlalu, perawat bangsal Isyana menelpon perawat bayi memberitahu bahwa 15 menit lagi Isyana ada obat yang harus masuk.


Isyana pun keluar.


Sebelum keluar, Binar dan Isyana duduk di meja edukasi, menanyakan dengan sopan keadaan dan perkembangan bayinya.


Perawat pun menjelaskan secara terbuka, kemungkinan buruk dan baiknya.


“Bisa satu bulan Sus?” tanya Isyana kaget tidak bisa membayangkan jika dia harus terpisah dengan bayinya lebih dari satu bulan.


“Iya Bu... soalnya kan paru- paru anak ibu belum matang dan belum waktunya lahir. Jadi masih butuh bantuan alat- alat medis dan juga obat- obatan. Otot dan syaraf organ pencernaan anak ibu juga belum bekerja maksimal jadi masih butuh perawatan bertahap,” tutur perawat lagi.


“Lakukan yang terbaik untuk anak saya!” jawab Binar cepat dan tegas.


Sementara Isyana menitikan air matanya, rasanya sangat berat mendengar semua itu. Isyana tidak bisa berkata- kata lagi. Binar kemudian mengelus bahu Isyana.


“Yang penting dia bertahan dan sehat, Sayang,” bisik Binar.


Isyana mengangguk.


“Apa yang harus saya, lakukan? Apa saya boleh menunggu di sini?” tanya Isyana.


Perawat tersenyum menggeleng.


“Kami tidak menyarankan ibu menunggu di rumah sakit. Saran kami sebaiknya ibu fokus ke penyembuhan ibu sendiri dulu. Anak ibu butuh ASI ibu, jadi ibu harus sehat agar ASI ibu lancar. Ibu boleh jenguk anak ibu kapan saja, tapi sebaiknya ibu istrirahat di rumah, takutnya kalau menunggu di sini ibu malah sakit! Kalau ibu sakit siapa yang akan rawat adek nanti, ikatan batin ibu dan anak kuat lho Bu” tutur perawat lagi.


Isyana mengangguk mencerna semua ucapan perawat. Binar pun mengerti dan sangat semangat.


“Baik Sus, terima kasih,” jawab Isyana patuh dan menghormati penjelasan perawat.


“Apa ASInya sudah keluar ibu?” tanya perawat.


Isyana melirik ke Binar malu. Kemudian menggeleng ragu.


“Belum,” jawab Isyana.


Binar yang mendengar langsung menelan ludahnya dan nyeletuk, “Bagaimana caranya agar ASInya keluar dan lancar Sus?” tanya Binar.


“Gleg!” Isyana yang belum genap 3 jam menjadi istri Binar langsung menoleh malu.


Akan tetapi, perawat yang tahunya, Binar suami Isyana langsung menyodorkan beberapa leaflet tentang perawatan payuudara, breastcare dan sebagainya.


“Oke terima kasih, Sus!” jawab Binar sangat semangat, bahkan Binar minta diajari bagaimana caranya dan begitu aktif bertanya.


Padahal Isyana si Ibu malah hanya diam dan iya- iya aja.


“Sudah paham?”


“Suudah! “ jawab Binar semangat.


Ruang rawat Isyana telpon lagi, Binar pun ijin pamit dan segera mendorong Isyana keluar.


“Abis ini, breastcare ya!” bisik Binar ke Isyana dengan tersenyum.


“Ishhh....” desis Isyana malu.


“Ini demi anak kita, Sayang!” jawab Binar.

****


Bersambung


Klik ini Untuk Lanjut ke bab Berikutnya 


gimana moms serukan kisah ini mempunyai plot alur cerita yang susah di tebak,ini permulaan yah moment yang menegangkan ada di pertengahan cerita.yuk kita lanjut lagi gaskuennnn







Posting Komentar untuk "Istri yang terabaikan Bab 187"