Istri yang terabaikan Bab 186

 Hello moms kembali lagi admin akan memberikan novel gratis yang sangat seru,novel ini merupakan salah satu novel yang lagi viral di FB loh..Novel ini menceritakan tentang balas dendam seorang istri yang tak anggap.Novel ini sangat seru loh moms dan mempunyai banyak penggemar setia.

Novel yang Berjudul “ ISTRI YANG TERABAIKAN “ ini menceritakan kisah seorang istri yang diabaikan oleh suaminya yang ssuka marah dan tidak menghargainya sebagai istri,kisah yang membuat kita larut ke dalam alur ceritanya ini sangat patut untuk dibaca yuk simak Novel nya…cekidot 😘🥰


186 Dia Suamiku


Tepat saat Binar membawa sop, Lana dan Bu Wira juga datang ke ruang bayi. Itu sebabnya ruang bayi mencari Binar.


Bu Wira tidak tinggal diam dikalahkan oleh Binar. Bu Wira membawa semua berkas pernikahan Isyana dan Lana, dan berkas perceraianya.


"Saya ayah kandung anak saya. Saya berhak melihat anak saya!" tutur Lana ke perawat.


"Ya, Bapak. Tapi mohon tunggu ibu Isyana atau suaminya," jawab perawat lagi.


"Braak!"


Lana marah dan kembali menendang meja perawat.


"Kalian bodoh atau bagaimana sih? Aku tandai kalian. Kalian lebih memilih pria pembohong seperti dia. Kalian tidak tahu siapa aku? Hah!" omel Lana terus memaksa Perawat.


Karena sudah sore yang jaga pun perawat junior yang tidak punya kuasa dan hanya bisa menunduk takut.


"Maaf, Tuan. Tap- tappi!" tutur. Perawat Junior gemetaran dan menunduk bahkan hampir menangis.


Perawat Junior kan hanya melakukan tugasnya. Mereka sudah lelah bekerja, masih mendapatkan tekanan orang besar.


"Tapi apa?" bentak Lana lagi


"Tata tertib di ruang bayi. Yang boleh masuk hanya ibu kandung bayi. Keluarga lain termasuk ayah kandung hanya boleh melihat lewat jendela!" jawab Perawat terbata


"Siapa yang membuat aturan begitu? Saya bapaknya. Dia anak saya!" jawab Lana lagi.


"Tapi, Pak!" jawab Perawat lagi.


"Kalian dibayar berapa sih sampai tega begitu? Saya itu neneknya. Saya akan bayat berapapun. Saya hanya ingin lihat cucu saya!" imbuh Bu Wira mengeluarkan jurusnya.


Perawat pun semakin gemetaran bingung. Akan tetapi atasan mereka yang merupakan teman akrab Pak Priangga sudah memberikan arahan, patuhi Binar. Jangan takut karena ada peraturan yang akan melindungi mereka.


"Anda boleh lihat, Nyonya. Saya bukakan tirai nya. Tapi tidak boleh masuk ke ruang perawatan," jawab Perawat lebih memilih elektabilitas profesinya.


"Mbaak... apa susahnya sih ijinkan saya masuk. Saya itu Mutia Larasati Hanggara. Saya akan bayar berapapun!" imbuh Bu Mutia lagi.


Lalu pejabat yang Bu Wira bawa pun mengintimidasi dan mendekati perawat.


"Tunggu, Bu Isyana, Ibu..., maaf bapak ibu," jawab perawat tetap kekeh.


"Kaliaan, benar- benar!" ucap Lana geram mau kumat, tapi langsung ditahan Bu Wira.


Bu Wira melihat sekeliling, pengunjung lain melihat ke mereka. Meja edukasi keluarga di ruang bayi terletak di luar, berbeda dari ruang perawatan. Karena memang bayi- bayi seperti bayi Isyana butuh ruang khusus.


Jadi saat Lana menggebrak meja, tetap ada akses pengunjung lain melihat.


"Baiklah. Sepertinya saya perlu, panggil suami saya?" imbuh Bu Wira lagi dengan tatapan geram.


Perawat masih tidak membukakan pintu ruang rawat.


"Saya akan bukakan tirai kalau Ibu ingin melihat cucu anda. Nyonya. Tuan Lana juga kemarin kan sudah melihat bayinya. Ruang bayi kan memang ruang yang harus steril dan hanya Ibu bayi yang boleh lihat. Nyonya!" jawab Perawat mencoba menjelaskan sejelas- jelasnya sesuai aturan dan berusaha tidak membedakan pasien.


"Saya tahu aturan itu. Tapi kalian tahu kan siapa saya? Saya akan bayar kalian! Saya ingin sentuh cucu saya!" ucap Bu Wira masih kekeh merayu.


"Maaf Nyonya," jawab perawat juga kekeh bertahan.


"Ruang NICU memang pengunjungnya dibatasi! Ibu boleh lihat dari jendela," ssmbung perawat.


"Hhh...," Bu Wira pun mendengus.


Lalu Bu Wira bangun dan hendak menelpon suaminya. Sementara Lana kekeh berdiri melirik ke ruang dimana anaknya dirawat.


Sayangnya belum telepon Bu Mutia tersambung, Isyana dan Binar datanng.


Secara spontan, tangan Bu Wira melemah, turun. Tatapanya langsung tertuju pada Isyana.


Binar pun dengan mantap mendorong Isyana mendekat.


"Isyana...," lirih Bu Wira berdiri.


Bibir Isyana bergetar. Reflek, hampir mau memanggil mamah, tapi dia rem karena sudah diperingatkan Binar.


"Akhirnya Mamah bisa menemuimu Isyana," tutur Bu Wira mendekat.


Mereka saling tatap di depan bangsal bayi. Isyana duduk di kursi roda dan Bu Wira berdiri menyambutnya dengan sejuta prasangka.


Walau bagaimanapun, tak pernah sekalipun Bu Wira membentak Isyana. Meski Isyana tahu anaknya jahat dan Bu Wira pasti membela anaknya, Juga sudah tahu Bu Wira tidak sebaik di luar, Isyana tetap tidak bisa kasar. Isyana selalu berusaha menghadapi Bu Wira dengan sopan santun, mengikuti gaya Bu Wira.


Isyana pun hanya membalas kata Bu Wira dengan mengangkat wajahnya dan tersenyum. Binar sendiri memilih irit bicara. Binar memang hanya cerewet pada Isyana.


Akan tetapi, walau tanpa kata, wajah Isyana yang tegak memancarkan senyum, membuat Bu Wira tersentak, cukup menusuk dan menjelaskan banyak perlawanan dari Isyana. Senyum Isyana menjadi bahasa tubuh yang mampu membuat Bu Wira sesak tak tertahan. Tidak ada tatapan tunduk atau takut lagi.

Isyana jelas, sudah berubah, dan jelas bersama Binar.


"Apa salah Mamah, Isyana? Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Bu Wira kemudian mengeluarkan jurusnya, bermain kata dan membuat lawan terpancing dalam kubangan rasa.


"Maksud Bu Mutia apa?" jawab Isyana mengikuti kata Binar tidak memanggil Bu Mutia mamah lagi.


Bu Mutia semakin terbelalak. Kupingnya serasa tersengat kilatan bara, terasa panas.


"Apa katamu? Coba ulangi? Kamu panggil nama Mamah?" tanya Bu Mutia kaget.


Isyana menelan ludahnya merasa tidak nyaman.


Bu Mutia pun tidak sabar dan semakin menyadari kini Isyana nyata melawanya. Bu Mutia langsung menyerobot Isyana dengan tuduhan tanpa memberi kesempatan Isyana berkata.


"Hooooh. Mamah tidak pernah menyangka Isyana. Kamu berubah semudah ini. Bahkan kamu tidak lagi menganggap Mamah, mamahmu lagi. Mamah menyayangimu. Mamah menganggap kamu anak Mamah lebih dari Lana. Mamah mengupayakan terbaik untuk kamu. Tapi lihatlah balasanmu!" tutur Bu Wira panjang dengan wajah lembutnya.


Binar pun mengulum lidahnya dan menatap Bu Wira dengan tatapan jengah. Sementara Isyana menelan ludahnya tidak nyaman.


Akan tetapi Isyana tidak mau jatuh ke lubang yang sama.


Isyana mengambil nafasnya berusaha tegar untuk tidak terpengaruh. Walau tidak dipungkiri, tatapan dan kata Bu Wira cukup menyentil hati Isyana yang lembut. Ada rasa bersalah yang menyusup dan memburu menghakimi Isyana.


Akan tetapi Isyana terus melawan. "Bu Wira tak seindah apa yang dia tampakan. Langkah Isyana sudah benar, tak ada yang salah,"


"Terima kasih atas kasih, atas sayang yang Bu Mutia berikan. Tapi maaf, Bu. Isyana tidak bisa ikut Bu Mutia lagi!" jawab Isyana berusaha tenang dan tetap menghadapi Bu Mutia dengan seeesopan mungkin.


Bu Mutia kemudian melirik Binar dengan tatapan sinisnya, juga tersenyum simpul mengejek.


Lalu, Tangan Bu Wira bahkan menepuk dadanya yang sesak, bertindak sebagai nenek yang terdzolimi.


Binar masih mengunci mulutnya menyaksikan semua tingkat Bu Mutia.


"Mamah benar- benar tidak mengerti. Aku kira hanya anakku yang jahat. Ternyata kalian lebih keji! Mamah kecewa dan sakit hati terhadapmu, Isyana." ucap Bu Wira.


Isyana pun membelalakan matanya. Kenapa Bu Mutia terus mengatainya jahat.


"Maksdu Bu Mutia apa?" tanya Isyana hampir terbawa emosi.


"Aku memilihmu sebagai ibu dari cucuku. Karena aku mengira kamu perempuan baik dan terhormat. Aku menyayangimu Isyana. Tapi bahkan kamu lebih hina dari Mika Isyana!" jawab Bu Wira semakin tinggi nadanya.


"Hanya karena laki- laki ini. Kamu bahkan mengorbankan anakmu!"


"Cukup!" Ucap Binar akhirnya buka suara dan agak keras.


"Kenapa ada yang salah? Kamu tidak pantas disebut ibu!" jawab Bu Mutia menantang lagi.


Lana yang di dalam mendengar dan keluar. Dengan tampang sinisnya Lana mendekat menghampiri Isyana dan Binar.


"Kaliaan!!" geram Lana mau kasar ke Binar tapi Bu Wira tahan.


"Jangan kotori tanganmu Lana!"


"Tapi mereka yang menghalangi Lana menemui anak Lana, Mah!"


"Kita dengar apa yang hendak mereka katakan! Bagaimana bisa ada ibu yang tega memisahkan anak dari ayahnya!" tutur Bu Wira terus memojokan Isyana.


"Tante Mutia. Cukup. Isyana tidak pernah melakukan itu!" sanggah Binar.


"Diam kamu laki- laki tidak tahu malu!" jawab Bu Mutia malah mengatai Binar.


Isyana mengeratkan rahangnya geram sambil mengepalkan tanganya. Niat hati menjenguk anaknya malah tertahan mantan mertuanya. Isyana berusaha sopan agar tak membuat ricuh dan malu karena di rumah sakit.


"Jadi ini wajah aslimu Isyana? Hanya karena laki- laki ini. Jiwa keibuanmu mati Isyana. Mamah sedang mengupayakn doa bersama untuk anakmu. Tapi kamu justru memilih kabur bersama laki- laki ini? Membahayakan anakmu. Dan kamu masih membatasi kami melindunginya, ibu macam apa kamu?" tuduh Bu Mutia dengan nada penuh kebencian dan emosi.


"Bu Mutia Larasati!" pekik Isyana akhirnya melawan dan cukup membungkam Bu Mutia.


Isyana sudah tidak tahan lagi.


"Dia suamiku!" ucap Isyana dengan wajah berkaca- kaca karena sudah cukup menahan tuduhan Bu Wira.


"Dia bukan laki- laki tidak tahu malu. Dia suamiku!" jawab Isyana lagi sambil meluapkan emosinya


Bu Wira dan Lana pun tertegun.


"Seharusnya kalian ngaca. Kalian yang tidak tahu malu. Bukankan Mas Lana dulu yang bilang itu bukan anaknya dan menuduhku selingkuh? Mas Lana yang menarikku. Mas Lana yang membuatku hampir jatuh. Mas Lana yang membuat anakku lahir sebelum waktunya. Apa kamu tidak ingat itu Mas?" tutur Isyana berderai air mata.


Baru beberapa menit lalu Isyana tersenyum kini menangis lagi


****

Bersambung


Klik ini Untuk Lanjut ke bab Berikutnya 


gimana moms serukan kisah ini mempunyai plot alur cerita yang susah di tebak,ini permulaan yah moment yang menegangkan ada di pertengahan cerita.yuk kita lanjut lagi gaskuennnn







Posting Komentar untuk "Istri yang terabaikan Bab 186"