Istri yang terabaikan Bab 185

 Hello moms kembali lagi admin akan memberikan novel gratis yang sangat seru,novel ini merupakan salah satu novel yang lagi viral di FB loh..Novel ini menceritakan tentang balas dendam seorang istri yang tak anggap.Novel ini sangat seru loh moms dan mempunyai banyak penggemar setia.

Novel yang Berjudul “ ISTRI YANG TERABAIKAN “ ini menceritakan kisah seorang istri yang diabaikan oleh suaminya yang ssuka marah dan tidak menghargainya sebagai istri,kisah yang membuat kita larut ke dalam alur ceritanya ini sangat patut untuk dibaca yuk simak Novel nya…cekidot 😘🥰


185 Bukan Mamahmu lagi


Tanpa iringan gending gamelan atau petikan tangan pianis, hati Binar tetap berbunga. Bersama Tuan Priangga, beriringan Binar mengantar Pak Penghulu beserta rombongan.


Mereka kemudian menunaikan kewajiban di tempat ibadah yang di sediakan rumah sakit.


Karena sudah sah, Binar pun berjalan tegap, yakin tanpa ragu dan tidak mau menahan bicara lagi jika nanti bertemu Lana. Sayangnya Lana dan Bu Wira tak terlihat lagi di ruang bayi.


Binar pun menyampaikan ke Teh Bila.


“Anak saya dirawat di sini, Teh!” ucap Binar memberitahu.


“Oh ya? Mana? Aku ingin lihat!” jawab Teh Bila.


“Kata perawat, tata tertibnya, hanya ibu yang boleh masuk. Saya, atau keluarga yang lain boleh jenguk lewat jendela. Jam besuknya nanti jam 19.00,” tutur Binar memberitahu.


“Oh gitu? Aak, nanti jangan pulang dulu yak, Bila pengen lihat, ponakan Bila” tutur Teh Bila ke suaminya.


“Ya!” jawab suami Teh Bila.


Walau tak tersedia jamuan catering mahal, seusai sholat, Tuan Priangga tetap membawa rombongan ke sebuah restoran mahal di ibukota itu.


Restoran yang menyediakan aneka olahan daging kambing dan sapi.


“Terima kasih, Pak Penghulu, Teh Bila dan semuanya, saya... pamit dulu, silahkan dinikmati hidanganya!” tutur Binar pamit.


Binar memilih hanya memesan dua porsi sop Iga sapi.


Sekembalinya ke rumah sakit. Binar mendapatkan telepon kalau pihak rumah sakit mencarinya. Pihak ruang bayi sudah telepon ke ruang Isyana, tapi ruang ibu menyampaikan kalau Binar tidak ada di tempaat.


Sambil mengangkat telepon, Binar melirik ke bungkusan sop iga sapinya.


“Ke Isyana dulu atau ke ruang bayi dulu?” gumam Binar berfikir.


Sop iga sapi aromanya begitu kuat. Apalagi masih panas dipegang membuatnyaa cukup repot. Tidak nyaman ke ruang bayi membawa sop. Binar memilih menemui Isyana dulu.


****


Sekitar jam 16.00 tadi sore, Adnan sampai di rumah Lana.


Adnan pernah datang dan bertemu dengan Lana dan Bu Wira sebelumnya. Security dan ART di rumah Lana pun membiarkanya masuk.


“Katanya mau ada selamatan 7 bulanan kenapa sepi sekali?” gumam Adnan begitu keluar dari mobil menatap ke rumah Lana yang sepi.


“Silahkan duduk, Tuan!” tutur ART Lana mempersilahkan Lana duduk di kursi yang pernah Adnan duduki juga saat itu.


“Ya terima kasih," jawab Adnan duduk.


"Dengan Tuan siapa ya? Ada keperluan apa ya Tuan?"


"Saya Adnan. Teman Tuan Lana. Kalau boleh tahu, katanya, mau ada acara 7 bulanan di rumah ini? Kok sepi?” tanya Adnan.


Asisten rumah tangga Lana yang bernama Rida itu menunduk. Dia sih tidak melihat adegan Isyana manjat pagar kemarin malam. Akan tetapi semua penguni rumah masih melihat tangga itu masih menempel di pagar. Jadi cerita tentang Isyana yang kabur semua penghuni rumah tahu.


“Mmmm...,” gumam Rida menunduk bingung mau cerita atau tidak.


Adnan pun menatap menelisik. Adnan menangkap ada yang mencurigakan. Lalu Adnan kembali bertanya.


"Lalu apa Nyonya Mika, ada di rumah?” tanya Adnan lagi.


Rida langsung mengangkat mukanya mendengar pertanyaan tentang Mika.


“Nyonya Mika sudah pergi dari rumah ini!” jawab Rida.


“Pergi?” tanya Adnan kaget.


“Ya...!”


“Sejak kapan?”


“Beberapa hari lalu!” jawab Rida.


Adnan menelan ludahnya berfikir. “Apa ini artinya usahaku berbuah manis? Isyana kembali ke rumah besar ini dan mendapatkan haknya lagi?” gumam Adnan merasa senang.


“Oh... kalau begitu? Apa Tuan Lana di rumah?” tanya Adnan lagi.


“Tuan Lana baru saja berangkat ke rumah sakit!” jawab Rida lagi.


“Rumah sakit?” pekik Adnan mulai panik kok rumah sakit.


“Iya. Ibu Isyana melahirkan!” jawab Rida lagi memberitahu.


Adnan pun membuka matanya lebar.


“Bukanya kandungan Isyana baru 7 bulanan?” tanya Adnan.


“Iyah! Saya kurang tahu persisnya, saya hanya dengar dari Nyonya besar begitu! Nyonya Isyana melahirkan,” jawab Rida.


Adnan pun menelan ludahnya berfikir banyak. Adnan pernah dengar katanya kalau orag sedang hamil berhubungan badan bisa menyebabkan keguguran.


Adnan jadi mengira Isyana balikan dengan Lana, hendak berhubungan badan dan berakibat merangsang bayinya lahir lebih cepat.


“Kalau boleh tahu, di rumah sakit mana?” tanya Adnan lagi.


“Saya kurang tahu, Tuan! Saya tidak berani tanya!” jawab Rida lagi.


“Oh oke..., terima kasih. Kalau gitu saya pamit!” jawab Adnan pamit pergi.


Rida mengangguk mempersilahkan Adnan pergi.


Adnan pun bangun dari duduknya, membuka mobilnya dan melaju pergi.


Sepanjang jalan Adnan jadi berfikir.


“Isyana pasti akan bahagia bersama Lana. Isyana kembali ke keluarga terhormat dan kaya ini? Hutangku lunas. Apa sebaiknya aku tidak usah lagi menemuinya yah? Bagaiamana dengn kasus kebakaran ini? Aku yakin ini pasti ulah Mika?” gumam Adnan sepanjang jalan berfikir dari sudut pandang dan pendapatnya sendiri.


“ lMika sudah pergi dari Lana, aku tidak ada urusan denganya? Dia pasti sudah mendapatkan ganjaran. Apa aku biarkan saja ya? Kasus ini? Toh Isyana sudah bahagia?” gumam Adnan lagi.


“Tapi kenapa Isyana menyuruhku menghubungi Daddynya Putri? Apa hubunganya?” gumam Adnan.


Adnan kemudian belok ke sebuah kafe dan menelpon pacarnya.


Sembari menunggu pacarnya datang, Adnan searching informasi tentang Lana dan perusahaanya.


Yang Adnan pikirkan, dia merasa sangat bersalah, sebab Isyana menjadi menderita kerana miskin padahal Lana orang terhormat dan kaya.


Adnan kemudian kepo tentang Lana dan mencari tau kehidupan Lana di media sosial.


“Lhoh... ini Pria pagi itu?” gumam Adnan melihat instagram official Lana berdiri berjajar dengan Binar di sebuah acara pertemuan pengusaha. “Iya ini laki- laki yang waktu itu menghampiriku? Oh ternyata dia Daddynya Putri?”


“Oh... pantas, sepertinya Tuan Lana dan Daddynya Putri kenal” gumam Adnan menyimpulkan sendiri.


“Sepertinya Isyana sudah bahagia. Aku tidak perlu risau memikirkanya lagi?” gumam Adnan.


Tidak lama pacar Adnan datang dan Adnan meletakan ponselnya.


****


Di rumah sakit.


“Lhoh kok cepet Mas?” tanya Isyana kaget Binar datang dengan cepat.


"Iya. Kasian istri Mas sendirian," jawab Binar.


"Nggak temani, Tuan Priangga dan tamu Mas makan?"


"Papah! Bukan Tuan Priangga!"


"Ya.. ya,"


“Mas kan nggak bisa lama- lama nggak liat kamu, Sayang! Nggak enak makan nggak ada istri,” jawab Binar santai merayu Isyana sambil mengambil mangkok sekali pakai yang dia dapat dari restoran dan menuangkan sopnya.


“Ishhh.....,” desis Isyana tersipu, dan dadanya jadi mengembang.


Sungguh rasanya masih seperti mimpi, pria yang dulu membuatnya keki mati kutu, bahkan melihatnya takut, dan hanya bisa Isyana kagumi dari kejauhan, kini jadi halal untuk dia peluk.


“Makan yuk, seger banget nih sopnya. Ibu nifas kan harus makan makanan bergizi!” tutur Binar mesra mengambil kursi mendekat ke Isyana hendak mengajak makan.


“Teh Bila, dan Aa Amar udah pulang Mas?” tanya Isyana.


“Belum mereka lagi pada makan!”


“Oh. Jadi Mas belikan aku? Dan ninggalin mereka buat aku?” tanya Isyana bosa basi merasa saking senangnya diperhatikan Binar.


“Yaiyalah... masih juga nanya, kan makan paling enak kalau makan sama istri,” jawab Binar lagi menatap Isyana dalam.


Isyana semakin mengembang, dirayu suami ternyata seindah ini rasanya.


Saat bersama Lana tak sekalipun Lana menyanjung atau merayu. Walau akhir- akhir Lana menyukainya, tapi Lana masih lebih besar gengsinya dan kaku.


“Makasih, ya Mas!” jawab Isyana.


“Hmm... kasih cium dong!” jawab Binar menyodorkan pipi kananya ke Isyana


“Issshhh...,” desis Isyana cemberut dan pipinya merah tersipu.


Walau Isyana pernah dicium Binar, tapi kan kalau Isyana yang mencium belum pernah.


“Kenapa? Dengar kan? Tadi? Istri itu tugasnya nyenengin suami. Dapat pahala lhoh!” ucap Binar lagi.


Mendadak jantung Isyana pun berdebar kencang. Isyana celingak celinguk. Entahlah padahal sama suami sendiri dan hanya berdua di kamar, tapi Isyana sangat gugup kalau harus dia yang mencium Binar.


“Cepat... keburu dingin sopnya! Cium dulu!” tutur Binar memaksa.


Setelah memastikan tida ada perawat masuk, Isyana dengan pipi yang merona, mendaratkan bibir mungilnya di pipi Binar.


Walau hanya hitungan detik, tapi rasanya panas mendebarkan. Bibirnya yang bergerak dan menempel tapi hatinya yang meleleh.


“Gitu dong!” jawab Binar senang. Lalu Binar berdiri dan membungkuk, “Cup,” Binar membalas mencium kening Isyana.


Isyana jadi menunduk tersipu.


“Makan yah!” ucap Binar mengambilkan meja rumah sakit yang bisa geser dan dihadapkan ke depan Isyana tanpa turun dari tempat tidur.


“Iyah!” jawab Isyana.

“Mas suapin?” tanya Binar menawarkan.


Isyana melirik Binar membawa dua mangkuk. Isyana pun pengertian. Sekarang kan innfusnya sudah tidak dua jalur lagi. Isyana bisa makan sendiri.


“Isyana bisa sendiri, Mas. Mas juga makan kan? Jangan sampai bunyi lagi perutnya!” jawab Isyana mengingatkan tadi pagi.


Binar jadi malu dan kemudian mencubit lengan Isyana bercanda mesra.


“Berani ya sekarang ngatain Mas?” cibir Binar.


“Hehe,” Isyana pun mulai bisa tertawa.


“Oke, Mas makan ya! Kamu juga! Yuk makan!” jawab Binar.


Binar makan di sofa penunggu di dekat Isyana. Sementara Isyana di atas tempat tidur Malam itu mereka kemudian makan bersama dengan lahap.


“Mas seneng kamu mulai sehat dan pulih lagi,” tutur Binar merapihkan bekas makan Isyana.


Binar sangat cekatan merawat Isyana.


"Isyana pengen cepat bangun. Isyana nggak mau repotin Mas terus. Kangen Putri, pengen gendong bayi Isyana juga,"


"Bayi kita. Bukan hanya bayimu, anak- anak kita!" sahut Binar.


"Ya!"


Binar kemudian menoleh ke kantung yang menggantung yang berisi air seni Isyana. Bahkan Binar dengan sigap langsung mengambil pispot membuka kancingnya dan mengeluarkan air seni Isyana.


“Udah penuh, mas buang ya!” tutur Binar.


“Mas nggak jijik? Biar perawat aja!” jawab Isyana canggung. Binar harus membuang kotoran Isyana.


“Nggak. Mas aja. Sama istri sendiri masa jijik!” jawab Binar.


“Dheg!”


Jantung Isyanaa yang sudah rilek saat makan kembali berddebar.


Ya, Isyana sekarang istri Binar. Kata “Beruntungnya... ,” yang pernah terbersit di hatinya sewaktu dulu membayangkan jadi Bu Tiara, saat Isyana pertama kali bertemu Binar, kini menjadi milik Isyana.


Mendadak, air mata Isyana terpancing menggenangi kelopak matanya.


Suami yang perhatian dan telaten merawat istri kini menjadi suami Isyana. Bukan hanya mirip, tapi orang yang sama. Mendadak Isyana jadi ingat Bu Tiara.


“Jadi ini pula yang Nyonya Ara rasakan? Apa Mas Binar juga memperlakukan Bu Tiara begini?” gumam Isyana menitikan air matanya.


Binar yang kembali dari kamar mandi jadi tersentak mendapati Isyana menangis.


“Kenapa lagi sih? Kok nangis lagi?” tutur Binar menyodorkan tissu dengan tangan kekarnya dan kemudian duduk di samping Isyana.


“Nggak apa- apa, Isyana jadi ingat Nyonya Ara?” tutur Isyana menunduk dan membendung air matanya dengan tissunya.


Mendengar nama mendiang istrinya, Binar yang tadi pandai ingin membuat Isyana ceria mendadak ikut menegang dan menundukan kepalanya.


Binar menelan ludahnya, ingatan hari- hari lalu sekilas datang.


Binar terbiasa merawat orang sakit kan memang karena Nyonya Ara.


“Aku merasa? Aku merasa tidak tahu diri, kalau Nyonya Tiara mengetahui aku menikahi suaminya? Aapa sebutan yang pantas untukku mas..,” tutur Isyana malah berfikir jauh dan negatif.


Kata orang ibu pasca melahirkan hormonya belum stabil dan sensistif. Mudah terharu dan tersinggung.


“Sssshhhh,” Binar langsung menghentikan ucapan Isyana dan memeluknya.


“Jangan salah berfikir dan memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya kamu fikirkan. Aku mencintaimu, aku menginginkanmu, tidak ada yang salah dengan pernikahan kita. Tiara sudah bahagia di sana, dia sudah tidak merasakan sakit lagi, kenapa kamu sampai berfikir tidak tahu diri. Tiara dan Putri juga sangat bahagia,” tutur Binar menangkup kedua pipi Isyana setelah memeluknya.


Isyana masih terdiam dengan mata berkaca- kaca.


“Panggil Kak Ara, jangan Nyonya Ara, dia kakakmu. Hmmm,” tutur Binar lagi menyeka air mata Isyana lembut.


Isyana hanya mengangguk.


Binar kemdian duduk merapat di atas bed itu dan meraih tangan Isyana.


“Sekarang hanya ada kamu dan aku, jangan pikirkan apapun lagi. Asal kamu tahu, Saat masih hidup pun Tiara memintaku meminangmu, tapi aku menolaknya dan dia menangis!”


“Aku benci melihat orang yang kusayangi menangis. Tapi aku melakukanya, bahkan saat itu aku sempat berfikir itu permintaan konyol dan berfikir buruk tentangmu, mendekati anakku karena ada maunya. aku berfikir kotor tentangmu. Aku mengatakan ini, jangan buat kamu berfikir aku menikahimu karena Tiara,”


“Aku mengatakan ini, agar kamu bisa menjadi istriku tanpa beban. Rasa benci yang awalnya bersemayam, Tuhan yang menggantinya menjadi cinta. Itu doa dan harapan Tiara. Aku mencintaimu demi apapun. Kamu istriku. Tiara pasti tersenyum karena aku menikahimu,"


"Tapi kamu juga harus tahu. Kamu dan Tiara berbeda, cintaku padamu juga berbeda. Jadi biarkan Tiara bahagia di surga, dan kamu, hiduplah bahagia bersamaku, kita besarkan anak- anak kita! Mengerti?” tanya Binar.


Isyana pun mengangguk.


Binar kembali membawa Isyana dalam pelukanya dan mendekapnya hangat.


Isyana pun tanpa ragu menyandarkan kepalanya di dada bidang Binar.


Jika sebelumnya Isyana bergejolak saat Binar memaksa, kini justru Isyana yang melingkarkan tanganya erat. Sangat nyaman bisa menyandarkan bebanya dalam rengkuhan suaminya.


“Isyana ingin lihat bayi Isyana, Mas!” lirih Isyana.


“Oke..., Kita ke ruang bayi. Mas tanya perawat dulu, kamu udah boleh bangun atau belum, ya!” jawab Binar menguraikan pelukanya.


Isyana mengangguk.


Binar pun turun dan melangkahkan kakinya bertanya pada perawat. Perawat kemudian mengikuti Binar hendak memeriksa dulu apa Isyana sudah boleh keluar ruangan.


“Ibu Isyana?”


“Ya,”


“Ibu ingin ke ruang bayi?”


“Iya Sus,”


“Masih pusing nggak? Buat duduk masih berbayang atau gemetaran nggak? Nyeri nggak?”


“Nggak!” jawab Isyana menggeleng.


“Sudah sangat sehat, Sus!” imbuh Binar mantap.


“Baiklah, kalau gitu, selang air seninya saya lepas ya! Baru diganti ya?”


“Iya Sus..,”


“Saya ambilkan alatnya dulu ya Bu!” pamit Perawat mengambil alat.


Isyana mengangguk. Dan merapihkan dirinya.


Isyana bahagia, satu persatu alat yang menempel di tubuhnya akan dilepas.


Isyana kemudian melirik cemberut ke Binar yang malah tetap duduk di sampingnya.


“Kenapa?” tanya Binar tau dirinya diperhatikan.


“Kok duduk?”


“Terus suruh ngapain?”


“Sana keluar!” usir Isyana.


“Kok keluar?”


“Perawat mau lepas selang aku, mau periksa aku juga!” jawab Isyana.


Isyana kan malu kalau Binar lihat ladang gandumnya.


“Ya udah bagus dong!” jawab Binar tanpa rasa bersalah.


“Ya mas, keluar!” jawab Isyana dengan nada manjanya.


“Ishh... kenapa memangnya?”


“Malu..!” jawab Isyana menggigit bibir bawahnya malu.


“Halllah, besok juga mas ubek- ubek. Mas sekarang suami kamu!” jawab Binar.


Di saat bersamaan perawat masuk membawa alat- alat. Dan tetap saja Binar yang menang, Binar tidak beranjak, justru mengawasi setiap gerak yang perawat kerjakan.


“Ditekuk kakinya Bu, dibuka ya! Saya lihat perdarahanya sekalian ganti pembaalutnya ya,” tutur perawat membuka pembaalut Isyana, kemudian mengambil kunci airnya pada kateter dan mengeluarkanya. Semua dalam pengawasan Binar.


“Ehm...,” Isyana pun wajahnya memerah sangat malu, mata Binar tidak lepas dari bukit indah Isyana.


Selesai perawat merapihkan Isyana, Binar kemudian mengambil kursi roda.


“Mau mandi dulu, apa jenguk dulu?” tanya Binar.


“Mandi?” tanya Isyana.


“Aku bantu bersihkan tubuhmu, pakai washlap!” jawab Binar.


Isyana pun gelagapan belum siap jika harus diteeelanjangi Binar.


“Nggak usah, udah besok aja, Isyana ke kamar sendiri!” jawab Isyana cepat menolak dibersihkan Binar.


“Kenapa?”


“Udah malam, nggak sabar pengen liat dhedhek,” jawab Isyana alasan.


Binar mengangguk, mengikuti mau Isyana. Binar pun membantu Isyana dengan telaten. Turun dari bed dan membawanya ke ruang bayi.


“Mamah,” pekik Isyana mendadak wajahnya gelisah dan menoleh ke Binar yang mendorong kursinya.


“Dia bukan mamahmu lagi, mamahmu Nyonya Dini!”


“Iya, untuk apa Bu Mutia ada di sini Mas?” tanya Isyana wajahnya jadi murung.


Isyana melihat Bu Mutia di depan ruang bayi.



****

Bersambung


Klik ini Untuk Lanjut ke bab Berikutnya 


gimana moms serukan kisah ini mempunyai plot alur cerita yang susah di tebak,ini permulaan yah moment yang menegangkan ada di pertengahan cerita.yuk kita lanjut lagi gaskuennnn







Posting Komentar untuk "Istri yang terabaikan Bab 185"