Istri yang terabaikan Bab 162

 Hello moms kembali lagi admin akan memberikan novel gratis yang sangat seru,novel ini merupakan salah satu novel yang lagi viral di FB loh..Novel ini menceritakan tentang balas dendam seorang istri yang tak anggap.Novel ini sangat seru loh moms dan mempunyai banyak penggemar setia.


Novel yang Berjudul “ ISTRI YANG TERABAIKAN “ ini menceritakan kisah seorang istri yang diabaikan oleh suaminya yang ssuka marah dan tidak menghargainya sebagai istri,kisah yang membuat kita larut ke dalam alur ceritanya ini sangat patut untuk dibaca yuk simak Novel nya…cekidot 😘🥰


162 Geram


“Drrrtt...,”


Ponsel yang tadi sore sebelum sholat, Isyana letakan di meja dekat tv, kini berbunyi. 


“Teeh...., aya telpon iyeeh!” teriak Dina memberitahu.


“Ya...,” jawab Isyana. 


Isyana ijin ke nenek untuk angkat telepon. Nenek tersenyum mempersilahkan dan tidak mau nguping.


Isyana berjalan cepat membawa hati yang merekah berbunga. Betapa tidak? Setelah tadi seakan mendung, seperti tanaman yang tak mendapat sinar matahari dan susah berkembang, kini Isyana mendapatkan siraman nutrisi sekaligus pancaran sinar mentari yang hangat. 


“ Tau aja lagi diomongin. Panjang umur, dia pasti tidak sabaran,” batin Isyana menarik kedua sudut bibirnya ke samping kanan dan kiri. Isyana semangat dan yakin itu Binar.


Sebab, Isyana belum menjawab satupun pesan Binar. Padahal Binar kirim 10 pesan dan 15 panggilan sedaari tadi siang. 


Akan tetapi begitu Isyana sampai di dekat meja dan ponselnya dalam genggamanya, muka Isyana meredup dan kembali kelam.


Benar memang umur panjang dan tidak sabaran, ternyata Bu Wira yang telepon. Isyana kan juga habis bahas Bu Wira.


Rupanya perempuan itu sudah sampai di rumahnya. 


“Perasaan baru bertemu? Ada apa dia telepon?” batin Isyana enggan. 


Akan tetapi Isyana tahu adab. Tidak suka dan tidak sependapat bukan berarti serta merta harus mengacuhkan orang lain apalagi orang tua.


Walau dengan berat hati Isyana menggeser tombol jawab. Isyana berusaha menghormati orang lain walau rasanya malas dan akan sekedarnya saja.


Yang penting ajaran keluarga Isyana, sebagai manusia kita harus memanusiakan manusia. Menjadi manusia yang selalu berbuat baik tidak pandang siapapun selama dalam batas tidak membahayakan.  


“Assalamu'alaikum Mah!” jawab Isyana sopan,


“Waalaikum salam, sedang apa kamu? Mamah ganggu nggak?” 


“Nggak, Mah. Mamah udah sampai?” tanya Isyana. 


“Udah... ini, mamah mau tanya, kamu pengen acaranya di Ibukota apa di kota B? Mau di hotel apa di rumah? Biar mamah siapin dari sekarang?” tanya Bu Wira bersemangat. 


Ternyata dari hasil USG Isyana tadi bersama Bu Wira, jenis kelamin bayi Isyana laki- laki. Kini usianya juga sudah 27 minggu lebih 5 hari, itu berarti masuk 7 bulan. Kalau dari hari pertama mens terakhir Isyana. Isyana kan mens sebelum ayahnya meninggal.


Bu Wira bahagianya bukan main. Dia akan mempunyai penerus keluarga Hanggara. Bu Wira sanga bersemangat menyambutnya dan ingin menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. 


Akan tetapi Isyana sendiri malah bingung dan tidak kepikiran. Kalaupun mau, Isyana hanya ingin syukuran dan berdoa bersama. 


“Emm... gimana ya Mah?” jawab Isyana benar- benar bingung. 


“Gimana? Giimana? Kamu kan yang mau didoain, kamu ibunya?” tutur Bu Wira lagi. 


“Iya Mah... “ jawab Isyana. 


“Ya sudah tentukan dimana, Nak!” 


Isyana menoleh Dina dan Nenek, Isyana bingung mau jawab apa. Sayangnya Dina tampak fokus dengan ballpoint dan bukunya. Dina sedang mengerjakan pr fisika. Nenek pun di dapurr tampak sedang membersihkan lukanya yang sudah sembuh. 


“Isyana...!” panggil Bu Wira nadanya mulai meninggi. Sepertinya kesabaran Bu Wira mulai terusik, sebab tak sesuai ekpektasinya. Bu Wira menggebu Isyana malah nggak konek.


“I-iya Mah!” jawab Isyana gugup. 


“Iya gimana? Mau dimana?” 


“Ehm... Isyana belum kepikiran, Mah!” jawab Isyana jujur. “Isyana bingung!” imbub Isyana.


“ Astagah!” jawab Bu Wira akhirnya pecah juga emosinya.


“Bingung gimana? Ini hajatmu, semua mamah yang urus. Kamu tinggal tentukan saja dimana? Kurang baik apa Mamah?” 


“Ya tapi Isyana bingung, minta tolong kasih waktu berfikir dan menimbang Mah. Isyana butuh pendapat nenek!” jawab Isyana. 


“Kamu belum kepikiran? Terus kok minta pendapat sama nenek itu. Memang dia siapa? Kamu ini gimana sih? Ini tujuh bulan anakmu, anak pertamamu! Apa kamu nggak sayang sama anakmu?"


"Oke Mamah dan Lana memang salah. Tapi Lana dan mamah sudah minta maaf ke kamu, Nak. Kenapa kamu terkessan tidak peduli dengan anakmu? Apa jangan- jangan kamu juga menyesal mengandung anak Lana? Kasian sekali cucuku, sampai ibunya saja tidak memperhatikannya!” racau Bu Wira kembali mengeluarkan semau jurusnya. 


Isyana jadi menelan ludahnya bingung mau jawab apa.


Kenapa Bu Wira sampai sepicik itu perkataanya. Walau kesal dengan bapaknya, tentu saja bagi seorang ibu yang menyadari hamilnya adalah hamil dari pernikahan sah dan sadar ikhlas melakukan pembuahanya, akan sayang pada anaknya. 


Bagaimana bisa dibilang tidak pedulli dan memikirkan?


Isyana yang merasakan setiap malam tidur Isyana gelisah di kamar yang sempit dan panas sampai harus buka baju dalam trimester dua ini. Seharusnya ada suami yang memijatnya, memberikan kipas angin, tapi Isuana sendirian.  


Belum lagi dulu saat Isyana hamil muda, berjuang sendirian. Menahan pusing.


Isyana tidak mengeluh bukan berarti da keluhan..Isyaba mengeluh karena sadar dia sendirian tidak ingin merepotkan siapapun.


Ditambah setiap malam Isyana begadang ngamen, agar Isyana bisa membeli vitamin untuk buah hatinya. Sakit rasa hati Isyana mendengarnya. Semua Isyana pikirkan untuk anaknua dan masa depanya.


"Tega sekali...?" batin Isyana mengepalkan tangan.


Bukan Bu Wira yang membantunya. Siapa lagi kalau bukan Nenek dan Bu Tiara serta Bu Dini yang membantunya. Bahkan orang yang pertama kali memeriksakan kehamilan Isyana dan menguatkan Isyana,  Bu Dini. Padahal Bu Dini tidak tahu siapa ayah bayi Isyana, tidak pula memaksa Isyana memberitahunya. 


“Maaf, Mah!” jawab Isyana singkat, giginya mulai dirapatkan geram.


Rasanya ingin dimatikan langsung teleponya. Tapi Ibu dan Nenek Isyana dulu ajarkan, kalau orangtua sedang bicara kita tidak boleh mengacuhkanya, dengarkan dulu. Kalau tidak cocok lebih baik tinggalkan.


Ya mendiang ibu dan Eyang Uti Isyana memang sebaik itu mendidik Isyana. 


“Apa sih yang kamu pikirkan sampai kebutuhan dan hajat untuk anakmu sampai tidak kamu pikirkan?” omel Bu Wira. “Ini sudah mau leewat lho 7 bulananya, apa saking sibuknya kamu kuliah sampai begini?” tanya Bu Wira lagi masih lanjut ngomel. 


“Maamah memang dukung kamu kuliah Isyana, tapi kalau sedang hamil jangan  memaksakan! Seharusnya jadi ibu itu, anak prioritas!” 


Isyana masih diam dan semakin mencengkeram ponselnya.


Tanpa Bu Wira kasih tahu, Isyana juga ngerti, anak prioritas Isyana, siapapun ayahnya. 


“Kalau kamu begini terus! Kamu cuti saja!” ucap Bu Wira. 


Isyana semakin geram dan sekarang otak Isyana mulai mendidih. 


“Maaf, Mah. Baterai ponsel Isyana lowbat. Isyana matikan dulu ya!” ucap Isyana masih sopan pamitan memutus telepon. 


Tentu saja seseorang di sana naik pitam. 


“Isyana kamu belum jawab!” omel Bu Wira tapi Isyana sudah matikan teleponya.


“Tut!” Isyana langsung mematikan ponselnya. 


“Hooooh...,” Isyana menghela nafasnya membuang emosinya dan duduk di depan tivi. 


Isyana kemudian mengelus perutnya. 


“Amit- amit, jabang bayi... cukup kamu bawa gen baiknya ya Nak. Tolong jadi anak mamah yang baik yah!” tutur Isyana dalam hati berdoa anaknya menuruni sifat yang baik- baik saja. 


Isyana tidak sungguh mematikan ponselnya. 


Isyana pun segera ingin menghubungi Binar. 


“Mas aku mau ngomong!” ketik Isyana. 


Ternyata kebetulan Binar baru mau melihat hp. 


“Akhirnya kamu, balas juga, Sayang!” jawab Binar. 


“Mas, bisa telepon sekarang nggak? Isyana mau ngomong!” balas Isyana lagi. 


“Jawab dulu, pertanyaan pesan Mas yang terakhir, tadi ngomong apa sama Putri dan Mamah?” ketik Binar ke Isyana. 


Isyana jadi bingung, Isyana kan nggak ngomong apa- apa sama Putri, apalagi Bu Dini. Isyana stay kalem dengan siapapun. 


“Ngomong apa gimana maksudnya, Mas? Isyana nggak ngerti? Mas sekarang dimana? Boleh Isyana telpon? Isyana mau ngomong penting!” ketik Isyana tidak sabar ingin cerita. 


“Ya udah mau ngomong apa? Sok ketik aja!” 


“Nggak, harus ngomong bukan pesan!” jawab Isyana. 


“Kenapa kangen yah?” jawab Binar malah ajak bercanda. 


Isyana jadi geram sendiri, heran Binar kan sudah tua tapi hobby sekali bercanda nggak jelas dan nggak lucu begitu. Isyana pun nekat telpon duluan. Sayangnya malah dirijek. 


“Iisssshhh,” desis Isyana kesal. 


Kenapa di saat Isyana butuh malah Binar nggak gerak cepat. 


****

Bersambung


Klik ini Untuk Lanjut ke bab Berikutnya 


gimana moms serukan kisah ini mempunyai plot alur cerita yang susah di tebak,ini permulaan yah moment yang menegangkan ada di pertengahan cerita.yuk kita lanjut lagi gaskuennnn







Posting Komentar untuk "Istri yang terabaikan Bab 162"