Istri yang terabaikan Bab 149

 Hello moms kembali lagi admin akan memberikan novel gratis yang sangat seru,novel ini merupakan salah satu novel yang lagi viral di FB loh..Novel ini menceritakan tentang balas dendam seorang istri yang tak anggap.Novel ini sangat seru loh moms dan mempunyai banyak penggemar setia.


Novel yang Berjudul “ ISTRI YANG TERABAIKAN “ ini menceritakan kisah seorang istri yang diabaikan oleh suaminya yang ssuka marah dan tidak menghargainya sebagai istri,kisah yang membuat kita larut ke dalam alur ceritanya ini sangat patut untuk dibaca yuk simak Novel nya…cekidot 😘🥰


149.Pelita.


Serasa di rumah sendiri. Binar berjalan mantap tapi santai menuju ke arah pintu rumah nenek. Sementara Isyana berjalan mengekor di  belakangnya.


Sungguh Isyana hanya bisa mencebik dan menatap Binar dengan ribuan tanda tanya. Nggak ngerti apa isi otak Binar, nggak bisa ditebak. 


Isyana hanya bisa siap siaga, jaga- jaga, dan waspada. Jangan sampai tangan nakal Binar kembali centil menyentuhnya.


Isyana berpegang teguh, dia mau jadi ibu, dia bukan perempuan murahan, Isyana harus jaga martabat seorang perempuan, segimana tertariknya Isyana, harus tetap bertahan tidak tergoda. Sudah jaga- jaga aja, kecolongan terus. 


Akan tetapi ada yang aneh di rumah nenek. Binar melirik jam tangan harga ratusan juta di tanganya itu.


Lalu mengedarkan ke sekeliling, lampu teras tetangga nenek sudah menyala, jam juga menunjukan pukul 18, tapi lampu rumah nenek masih padam, di dalam rumah juga tampak sunyi. 


Binar kemudian menatap Isyana. 


“Nenek nggak telat bayar listrik kan?” tanya Binar dengan polosnya. 


Tentu saja Isyana langsung mendelikan matanya dan kembali naik pitam. Mentang- mentang orang kaya, remehin nenek. 


“Nggaklah, Nenek tertib bayar listrik kok, meskipun nggak kaya, kita warga negara yang taat aturan dan sadar diri!” jawab Isyana tersinggung.  


“Terus kenapa mati?” tanya Binar. 


“Ya nggak tahu, kan sayanya bareng sama Tuan, baru sampai!” jawab Isyana. 


“Mas!” pekik Binar.


“Yaya..., ya udah, coba diketuk!” jawab Isyana. 


Binar mengangguk kemudian mengetuk pintu nenek, dan ucapkan salam. 


“Assalamu’alaikum... Nek...!” sapa Binar keras, 


“Thok... thok... Nek.. ini Binar Aksa sama Isyana....,” tutur Binar lagi. 


Akan tetapi dari dalam tak ada sahutan, Binar kemudian menoleh ke Isyana. Mereka saling pandang.


Isyana menelan ludahnya. Seketika jantungnya berdebar lebih keras dan panik melanda. 


“Nggak  ada jawaban, Mom!” tutur Binar asal kasih panggilan ke Isyana. 


“Kemana mereka? Apa terjadi sesuatu dengan Nenek?” tanya Isyana panik. 


“Hush... jangan berfikir negatif dulu. Coba telepon Dina!” jawab Binar santai. 


Isyana mengangguk segera mengambil ponselnya. Dengan segera Isyana pencet tombol panggilan ke kontak Dina. 


Raut Isyana sudah dipenuhi rasa khawatir. Takut terjadi sesuatu dengan nenek.Isyana akan merasa sangat menyesal dan sedih. Isyana sekarang hanya punya mereka. 


Meski Binar sangat baik padanya dan terus mendekatinya, tapi Isyana sadar menikah bukan perkara mudah. Isyana perlu memikirkan banyak hal, belum terbukti juga kesetiaan dan kesabaran Binar tunggu Isyana lahiran.


Berdering. Isyana pun sedikit lega, berharap Dina segera memberi kabar. Akan tetapi sudah beberapa saat, tidak diangkat. Panik pun kembali menghampiri Isyana. 


“Nggak diangkat, Mas!” celetuk Isyana spontan panggil Binar Mas karena gugup dan panik. Binar bisa mengenali raut Isyaana. 


“Tenang... coba sini ponselnya!” tutur Binar tenang dan dewasa.


Binar kembali menelpon Dina. Entah kenapa, saat Binar yang pegang telponya, langsung Dina angkat. Mungkin karena tadi Dina di jalan atau sibuk, sekarang udah lega. 


“Halo... Teh,” sapa Dina. 


Binar memencet tombol loudspeaker dan diserahkan ke Isyana. 


“Dina... kamu dimana? Teteh di depan rumah, kok lampunya dimatikan?” tanya Isyana. 


“Kuncinya di tempat biasa, Teh!” 


“Jawab dulu, kamu dimana?”


“Bentar lagi, Dina pulang kok! Dah ya. ” jawab Dina mematikan telepon, tidak mau jawab. 


Tapi Isyana bisa mendengar, Dina ada di tempat keramaian, seperti di sebuah pelayanan kesehatan, karena terdengar suara peringatan sholat maghrib dan panggil nomer antrian. 


Isyana mematikan ponselnya diam. 


“Gimana?” tanya Binar menundukan kepala ke arah Isyana bertanya. 


Isyana tidak menjawab dan berjalan menuju ke sisi jendela. Bagian dekat jendela ada roster kecil, di situ nenek dan Dina menaruh kunci. 


Isyana kemudian membuka kuncinya dan masuk, tanpa memperdulikan Binar. 


“Berdua aja nih kita di rumah?” tanya Binar mulai genit.


Binar menyusul Isyana masuk ke dalam. Isyana pun berhenti mendadak di depan batas ruang tamu dan ruang dalam.


Binar jadi berdiri sangat dekat di belakang Isyana. Kalau Isyana berbalik, sudah pasti mereka akan benturan dan pelukan. 


Isyana diam di tempat, memejamkan mata menghela nafasnya. 


“Huuuuft,” 


Ngasuh Putri dan ngasuh Daddynya sepertinya lebih melelahkan ngasuh Daddynya. Bisa- bisanya dulu Isyana menganggap Binar perfect hanya karena belikan anggrek untuk Bu Tiara.


“Ehm... Tu.. Mm.. Mas!” ucap Isyana pelan. “Ingat kita belum jadi apa- apa, tolong hargai saya dan nenek. Apa kata orang kalau tahu kita di rumah berudaan begini?” tutur Isyana memperingati. 


Meski di kota, tapi Isyana dan Nenek tinggal di pinggiran dan pemukiman padat penduduk yang masih menjunjung tinggi adat. Tidak semua orang sih peduli dan memegang adat itu. Tapi Isyana yang berlatar belakang orang desa masih memikirkan dan memperdulikan norma itu.


Jika sudah bakda maghrib, pamali laki- laki dan perempuan bukan mahrom berdua di dalam rumah. Kalau bertamu boleh di teras saja. Masuk jika ada anggota keluarga lain dan pintunya juga dibuka. 


Binar pun  berhenti manyun. 


“Mereka nggak ada yang peduli kok!” jawab Binar membela diri. 


Kalau Binar kan asli orang Ibukota. Di kota B demi mengikuti mau Bu Tiara. Kehidupan Binar dulu juga banyak di luar negeri. 


“Kata siapa?” jawab Isyana. 


“Kataku!” jawab Binar. 


“Ada kok!” jawab Isyana. 


“Siapa? Mana orang- orang aja nggak ada yang nyapa kamu!” jawab Binar masih ngeyel. 


“Mereka memang nggak nyapa kita, tapi pasti menggunjing kita!” jawab Isyana beralasan. 


“Ya bairin aja!” jawab Binar lagi.


“Kalau pun mereka nggak peduli, ada malaikat yang peduli. Nggak malu apa sama malaikat? Jangan begini!” tegur Isyana kali ini lebih keras dan emosi. Nggak tahu gimana lagi cara Isyana kasih tahu Binar, nekad banget. 


“Yaya!” jawab Binar, mulutnya tercekat tidak bisa jawab lagi karena Isyana terlihat marah. 


“Bisa nggak pulang aja?” tutur Isyana mengusir


“Hmm.. aku diusir nih?” tanya Binar. 


“Emang mau apa di sini?” 


“Aku mau ada perlu, beneran!” 


“Saya mau masuk, mau mandi, bisa nggak munduran dikit dan nggak usah ikutin saya?” tanya Isyana. 


“Yaya, tapi jangan usir!” 


“Kenapa? Mau modus lagi kan?” jawab Isyana. 


“Nggak suer!” jawab Binar seperti anak kecil mengangkat tangan memastikan “Aku harus ketemu Dina. Aku tunggu Dina dulu! Nanti aku pulang.” jawab Binar tidak mau pulang. 


“Ya udah silahkan nunggu di teras. Kalau Dina udah datang baru masuk. Nggak usah ikutin saya!” jawab Isyana. 


“Yaya!” jawab Binar mengangguk. 


Isyana kemudian melanjutkan jalanya. 


“Isyana tunggu!” pekik Binar lagi. 


“Apa?” 


“Masjid dimana?” tanya Binar. 


“Kalau masjid besar di seberang jalan sana lewatin jalan raya, kalau mushola ada di komplek sini... tiga rumah ke belakang!” tutur Isyana. 


“Oke..., Daddy ke mushola dulu ya Mom!” ucap Binar pamit sambil tersenyum menggoda Isyana.


“Issshh...,” desis Isyana tersipu. 


Isyana kemudian masuk ke dalam segera menuju ke kamar mandi, mandi lalu sholat.


Entah nenek dan Dina kemana, tapi karena Dina bilang akan segera pulang Isyana lebih tenang. 


Sementara Binar ke mushola sebentar, untuk sholat maghrib. 


“Masih ingat sholat juga? Kenapa kelakuanya begitu?” batin Isyana senyum- senyum sendir dan reflek memegang bibirnya. Seketika tubuh Isyana memanas ingat apa yang terjadi. Isyana memejamkan matanya dan bergidik. 


“Bu Ara maafkan saya, apa maksud semua ini?” batin Isyana bertanya. 


Lamunan Isyana tersentak, ketika mendengar pintu dibuka dan langkah nenek dan Dina masuk. Isyana segera melipat mukenahnya dan keluar menyambut. 


“Nenek... Dinaa...” pekik Iysana. 


“Sudah pulang, Neng?” sapa Nenek tersenyum. 


“Nenek kenapa?” seketika wajah Isyana langsung pucat mendapati Nenek memakai tongkat dan tangan kakinya diperban. Isyana langsung menghampiri nenek dan memeriksa. 


“Nggak apa- apa? Sudah lama pulangnya?” jawab Nenek tetap tersenyum. 


“Nenek kenapa Din?” tanya Isyana tidak menjawab nenek dan langsung tanya ke Dina.


“Tadi hujan deras, Nenek kepeleset di depan, kata dokter nggak apa- apa lecet aja!” jawab Dina. 


“Ohh... gitu? Maaf ya Nek, Isyana malah pergi!” 


“Nggak apa- apa, besok juga sembuh. Oh ya kamu pulang sama siapa? Kok mobil yang di depan beda?” tanya Nenek. 


“Iya, Teh, mobilnya bagus kaya di film- film luar negeri!” sambung Dina. 


“Daddynya Putri!” jawab Isyana. 


“Teteh jadian ya sama Tuan Binar?” ledek Dina. 


“Hooh? Jadian gimana? Apaan sih? Ngarang kamu!” jawab Isyana tersipu. 


“Lah orangnya dimana?” tanya Nenek. 


“Di mushola, Nek katanya mau sholat.” 


“Oh ya sudah, buatkan minum sama itu ada tahu digoreng. Nenek malam ini istirahat saja!” jawab Nenek. 


“Dia mau ngomong sama Dina kok, nggak usahlah dikasih minum,” jawab Isyana malas. 


“Abdi, Teh?” tanya Dina kaget, ada apa Binar mau menemuinya. 


“Iyaah.” Jawab Isyana mengangguk. 


“Mau ngapain?” 


“Nte ngarti teteh, tanya aja sendiri. Teteh mau istirahat. Kalau orangnya dateng temui aja!” jawab Isyana mau masuk ke kamar. 


“Eeeeh..., mau kemana?” tegur Nenek. 


“Ke kamar!” 


“Ini masih waktu maghrib, pamali maghrib- maghrib di kamar. Mau ada perlu sama Dina apa sama kamu, buatkan minum. Nggak boleh gitu sama tamu!” tutur Nenek.


“Hemmm...” jawab Isyana. 


“Kamu itu udah dewasa, mau jadi ibu, kasih contoh yang baik untuk anakmu,” tutur Nenek lagi.


“Anak Isyana kan belum lahir, Nek!” 


“Tapi dia denger dan ikut kebiasaan ibunya” 


“Yaaa....,,” jawab Isyana akhirnya patuh. 


Nenek dibantu Dina ambil air wudhu sementara Isyana siapin minuman. 


Di saat yang bersamaan, Binar datang. Binar pun masuk dan duduk tenang di ruang tamu meski sendirian.


Nenek yang tadi dengar salam Binar meminta antar Dina  untuk menyapa. 


Binar pun kaget melihat nenek pakai tongkat dan kakinya di perban. 


“Nenek kenapa?” tanya Binar peduli. 


“Biasa, sudah tua jadi begini, jalan oge ngalamun kesemutan, terus kepeleset,” jawab Nenek seakan biasa saja. 


Tapi Binar bisa menangkap raut wajah nenek yang renta dan keriput, sorot matanya menyimpan lelah teramat sangat. Bibirnya memang bisa menutup tabir seberapa lelah perjuanganya. Tapi mata tak bisa berbohong, harusnya nenek sudah berhenti jualan dan tidak bekerja keras lagi. Nenek harusnya istirahat dan bekerja untuk hiburan saja. 


“Jangan terlalu diforsir Nek, kalau lelah ya istirahat!” jawab Binar. 


“Kebetulan hari ini pagi sepi, siang malah rame. Jadi nenek pulangnya kena hujan, jadi kepeleset deh,” jawab Nenek beralasan. 


“Lain kali hati- hati, ya Nek!” jawab Binar. 


“Ya!” jawab Nenek.


Lalu Binar menoleh ke Dina, dan ke tirai pintu pembatas ruang tamu ma rumah bagian dalam. Isyana entah kemana, heran Binar, jual mahal sekali. 


“Mana ijazah dan rapotmu, Dina!” tanya Binar kemudian. 


“Ijazah?” tanya Dina malah kaget 


“Tadi siang, saya bilang suruh siapkan kan?” tanya Binar. 


Dina dan nenek saling pandang. Dina masih belum mengerti untuk apa Binar menanyakan. 


“Untuk apa ya? Kok Dina harus siapkan ijazah?” tanya Nenek. 


“Kan saya udah bilang? Dina mau sekolah SMA nggak? Siapkan ijazah SMPnya, raportnya kartu pelajar juga, saya bantu!” ucap Binar. 


Nenek dan Dina langsung menelan ludahnya tak percaya dan bingung. Di saat yang  bersamaan Isyana datang membawa nampan berisi teh dan tahu goreng. 


“Kok malah bengong? Yayasan Pelita di dekat kampus Isyana kuliah itu punya temen saya Nek. Dina belum ada 6 bulan kan nganggurnys? Saya daftarkan ke teman saya agar  bisa segera sekolah?” jawab Binar. 


Dina tidak bisa berkata- kata dan matanya mulai berkaca- kaca. Nenek pun hanya diam bingung mau menanggapi apa. Rasanya seperti mimpi. Dina mau sekolah di sekolah elite.


Isyana meletakan teh dan gorengan di meja. Ada rasa terkejut, senang dan bersyukur. Akan tetapi timbul tanda tanya di hati Isyana. Kenapa Binar sebaik ini. Isyana pun ikut duduk di samping Dina. 


“Jadi, Tuan Binar mau sekolahkan, Dina?” tanya Nenek. 


“Jangan panggil Tuan Nek, Binar bukan majikan Nenek kan?” jawab Binar.


Binar sebenarnya benci dipanggil tuan padahal mereka smeua hidup mandiri dan tidak ada yang bergantung pada Binar. 


“Iya...nak Binar, maaf. Jadi Dina mau disekolahkan? Apa bisa? Kan Dina sudah nganggur?” tanya Nenek lagi. 


“Iya... ayo cepat ambil ijazahmu, kamu ikut juga lebih baik! Kebetulan jam 8 malam ini, Binar ada undangan pertemuan di balai kota. Kang Arya juga datang, dia pemilik yayasan Pelita, nanti saya tanyakan, prosedurnya gimana? Bisa nggak dikejar ketertinggalanya? Itu kan sekolah swasta jadi mungkin masalah data masuk bisa disesuaikan, yang penting Dinanya bisa ikutin materi pelajaranya,!” jawab Binar memberitahu. 


“Iya...” jawab Dina cepat. 


“Siap- siap ya!” jawab Binar. 


Dina mengangguk cepat dan masuk. Dina terlambat masuk tahun ajaran baru sekitar 2 bulanan. Jika di sekolah Negeri jelas harus nunggu tahun depan, Binar ingin mengusahakan Dina agar bisa segera masuk ke sekolah tapi yang swasta. 


“Jadi ini beneran Dina mau sekolah?” 


“Semoga bisa ya Nek!” jawab Binar. 


“Tapi nenek nggak mampu, bayar sekolahnya,” jawab Nenek


“Nggak usah dipikir, Nek. Yang penting Dina mau sekolah yang bener aja!” jawab Binar. 


“Terima kasih, tapi kenapa, Nak Binar melakukan ini? Kami kan bukan siapa- siapa, dan tidak pernah melakukan apa- apa, untuk Nak Binar!” tutur Nenek. 


“Karena saya nggak suka liat orang putus sekolah, Nek!” jawab Binar lalu melirik ke Isyana. Iya di depan nenek bilang begitu, entahlah nanti di belakang pas berdua dengan Isyana binar mau jawab apa.


“Terima kasih..., terus ini Dina ikut atau gimana? Perlu nenek dampingin atau tidak?” 


"Baiknya Dina ikut, biar Binar kenalkan ke teman Binar. Nenek lagi sakit di rumah aja. Kalau mau temani Isyana aja, kalau Isyana tidak capek sih?” jawab Binar menatap Isyana lagi.


Isyana wajahnya sudah lebih segar karena sudah mandi. 


“Ha!” pekik Isyana terbengong. 


Isyana dari tadi kan tanpa sepengetahuan Binar sedang mengaguminya. Ya kalau sedang serius dan waras, Binar tampak sempurna. Binar gagah, matang dan berkharisma, sudah begitu baik. Tapi kalau sedang sendirian rasanya pengin Isyana timpuk pakai sendal. 

****

Bersambung


Klik ini Untuk Lanjut ke bab Berikutnya 


gimana moms serukan kisah ini mempunyai plot alur cerita yang susah di tebak,ini permulaan yah moment yang menegangkan ada di pertengahan cerita.yuk kita lanjut lagi gaskuennnn







Posting Komentar untuk "Istri yang terabaikan Bab 149"