Istri yang terabaikan Bab 148

 Hello moms kembali lagi admin akan memberikan novel gratis yang sangat seru,novel ini merupakan salah satu novel yang lagi viral di FB loh..Novel ini menceritakan tentang balas dendam seorang istri yang tak anggap.Novel ini sangat seru loh moms dan mempunyai banyak penggemar setia.


Novel yang Berjudul “ ISTRI YANG TERABAIKAN “ ini menceritakan kisah seorang istri yang diabaikan oleh suaminya yang ssuka marah dan tidak menghargainya sebagai istri,kisah yang membuat kita larut ke dalam alur ceritanya ini sangat patut untuk dibaca yuk simak Novel nya…cekidot 😘🥰


148.Ada Perlu dengan Dina


Rasa hormat, segan, takut dan canggung Isyana ke Binar sekarang menghilang. Semua kewibawaan Binar yang dulu Isyana kagumi musnah seketika. 


Di mata Isyana kini Binar menjadi sosok berandaal nakal yang menyebalkan. Menyebalkan karena terus mengobrak abrik hati Isyana dan membuat Isyana mengeluarkan energe lebih untuk menahan diri dan melawan akal sehat. 


Kalau bukan di rumah Binar atau tidak sedang hamil, rasanya pengun tuh kasih Binar tinju.


Isyana berjalan menghindari Binar si Tuan Rumah tanpa bosa basi dan tata kerama lagi. Isyana juga tidak mendengar tawaran Binar untuk mengantar dan memilih mencari Mbak Nik ke belakang. 


Binar berjalan cepat menyusul Isyana. Tapi begitu sampai ke pintu area masuk ranah asistern rumah tangga, Binar berhenti. Binar memilih duduk di salah satu bangku dapur dekat kamar Mbak Nik. Binar menajamkan telinganya nguping. 


“Mbak Isyana?” pekik Mbak Nik kaget melihat Isyana masuk ke kamar mereka. 


“Maaf ganggu!” tutur Isyana agak canggung. 


Para asisten rumah tangga Binar tahu nggak ya? Binar tidur keelonin Isyana? Kelakuan Binar di dapur sudah jelas dipergoki Mbak Nik. 


“Ada apa Mbak?” tanya Mbak Nik. 


“Ehm...,” Isyana berdehem malu. “Mbak Nik, bisa kita ngobrol sebentar?” tanya Isyana. 


Mbak Nik melirik ke Teh Ecih dan yang lain. Yang lain pun mengangguk.


Mbak Nik berdiri dan mengikuti Isyana. Begitu sampai di dapur Isyana kembali mendengus manyun. 


“Ck... hhhh, Binar benar- benar ya?” batin Isyana. 


Isyana kan mau minta Mbak Nik buat keep silent. Isyana juga mau tanya selama Isyana tidur ada yang masuk ke kamar Putri atau tidak. Isyana malu sekali kalau ada yang melihat mereka berpelukan di kamar, di siang bolong. 


Eh Binar malah duduk di dekat kamar Mbak Nik terlihat sengaja menguping dan nunggu. Fiks deh, Mbak Nik nggak akan bisa dikasih tahu, pasti Mbak Nik menyimpulkan sendiri. 


Mbak Nik pun menunduk melihat Binar. 


“Ehm...Mm Tu- tuan,” ucap Isyana jadi canggung, mau sopan tapi sedang kesal. “Boleh tinggalkan ruang ini. Saya ngobrol dengan Mbak Nik empat mata?” tanya Isyana ke Binar.


Isyana berusaha sopan tapi jadi terkesan sedang bersandiwara, aneh rasanya. Apalagi isi perkataan Isyana yang menunjukan intervensi, kalau sopan beneran mana ada berani usir, Tuannya. Mbak Nik kan makin curiga.


“Oke.. jangan lama- lama. Ada yang bilang katanya ibu hamil nggak boleh pulang melebihi maghrib, kalau lama berarti nggak usah pulang aja!” jawab Binar malah menyindir dan semakin iseng sengaja menunjukan ke Mbak Nik. 


Isyana pun hanya menggigit bibir bawahnya, rasanya mau nimpuk pala Binar pakai nampan yang ada di dekat wastafel. 


“Ya!” jawab Isyana. 


Mbak Nik hanya berdiri menunduk menahan tawa, malu sendiri. Apa susahnya ngaku.


“Duduk, Mbak!” ucap Isyana menoleh ke kanan kiri. 


“Ada apa Mbak Isya?” 


“Ssssttt jangan keras-keras,” tegur Isyana berbisik dan mendekatkan dirinya ke Mbak Nik. 


Mbak Nik mengangguk bersiap mendengarkan. 


“Ehm... apa? Selama aku di kamar Putri, Mbak Nik dan yang lain ada yang masuk ke kamar Putri?” tanya Isyana hati- hati. 


“Kenapa memangnya Mbak?” tanya Mbak Nik. 


“Udah buruan jawab? Aku mau cepet- cepet pulang!” jawab Isyana. 


“Saya,” jawab Mbak Nik tegas.


“Hooh?” pekik Isyana gelagapan. 


“Kenapa?” tanya Mbak Nik heran.


“Ehm... apa yang Mbak Nik lihat? Kapan mbak Nik ke kamar Putri?” tanya Isyana gugup. 


Mbak Nik jadi memicingkan matanya curiga. 


“Kenapa memangnya?” 


“Jawab cepat!” serbu Isyana lagi. 


Mbak Nik yang bingung jawab seadanya. 


“Saya masuk pas mau tanya boleh nggak saya cicip pizzanya, ya sekitar jam 3an. Kulihat Mbak Isyana ama Non Putri terlelap ya saya tutup pintu lagi, terus gabuny ma temen- temen tidur,” jawab Mbak Nik jujur. 


“Hhhhh...,” Isyana pun menghela nafasnya lega. 


“Kenapa memangnya Mbak?” 


“Nggak apa- apa. Pizza di loyang yang di dapur buat Mbak Nik dan teman- teman ya. Oh ya titip pesan buat Putri, bangunkan dan mandikan dia ya. Terus kalau dia nanyain aku, minggu depan aku sibuk jadwalnya. Minta tolong ya Mbak, jagain Putri. Aku telponan sama Putri lewat kamu aja ya Mbak!” ucap Isyana bak ibu kandung yang nitip anak. 


Isyana tahu, dia pulang tanpa pamit pasti Putri kecarian. 


“Lhoh kok gitu? Mbak Isyana bilang sendiri aja. Nggak usah lewat saya. Bukanya biasanya sama Tuan?” tanya Mbak Nik. 


“Ehm... nggak apa- apa? Mbak Nik aja! He..” jawab Isyana tersenyum menyeringai. 


Mbak Nik jadi menatap Isyana curiga tidak komentar dan menyanggupi mau Isyana. Isyana juga merasakan dicurigai. 


“Oh ya... yang tentang apa yang Mbak Nik lihat tadi di dapur, tentang aku dan Tuan Aksa, tolong dijaga Mbak. Tolong Mbak Nik jangan salah paham, kita nggak ada hubungan apa- apa kok. Dan cukup Mbak Nik aja yang tahu. Jangan bikin gosip ke temen- temen. Terutama sama Bu Dini. Saya mohon ya Mbak” ucap Isyana lagi gugup.  


Mbak Nik malah tersenyum tidak mau mengiyakan, malah melihat Isyana. 


Isyana kan jadi bingung. 


“Ya Mbak!” ucap Isyana menekankan. 


“Udah jam 5 lebih ini, mau jam setengah 6, tuh Tuan udah nunggu buruan katanya mau pulang!” tutur Mbak Nik malah usir Isyana. 


“Mbak Nik, please!” 


“Udah tenang aja, amaan! Sana pulang!” usir Mbak Nik lagi. 


“Aku mau pulang lewat belakang ajalah. Aku mau pesen taksi online!” jawab Isyana.


“Haiissh pamali ibu hamil nggak boleh gitu!” tegur Mbak Nik lagi. 


“Ehm..” terdengar deheman keras yang membuat isyana dan mbak Nik menoleh.


Seseorang yang sedari tadi nguping bersandar di dekat pintu dapur pun mengeluarkan batang hidungnya sambil menggaruk pelipis matanya yang tidak gatal dan satu tanganya di saku celananya. 


Ya, Binar ternyata tetap nguping.


Bahkan sedari tadi Isyana masak dan bersama Putri Binar juga memperhatikan Isyana, tapi dari cctv. 


Mbak Nik yang paham situasi kasih kode ke Isyana. Mbak Nik bangun dan pergi dengan sopan dan menundukan kepala.


Isyana sendiri jadi tidak bisa berkutik melihat Binar  berjalan mendekat. 


“Mau tidur di kamar Putri atau mau di kamarku?” tanya Binar to the point. 


Isyana pun mendelik.


“Ishhh, ngapain? Gelo!” gumam Isyana.


"Mau nginep apa pulang? Nginep yah?" tanya Binar lagi.


Isyana gelagapan tersipu.


“Hitungan ke tiga mundur, aku suruh Pak Ujang kunci gerbang ya!” ucap Binar lagi mengancam. 


“Hhhh...,” Isyana menghela nafas, kalah telak. Pulang diantar atau menginap, sama saja Isyana tidak bisa menghindar dari Binar. 


“Pulang!” jawab Isyana cepat.


“Ya. Hayuk!” ajak Binar mengedikan matanya. 


Mau tidak mau Isyana patuh, berdiri dan mengikuti Binar.  Binar pun bejalan di depan dan membukakan pintu untuk Isyana.


Kali ini Binar tidak memakai mobil 4 pintu melainkan mobil 2 pintu yang merupakan mobil kesayanganya yang lama tidak dipakai keluar hanya dipanasi saja. Malah hampir dijual karena Binar lama tidak healing, tapi sayang cukup banyak kenangan. 


Isyana tidak bisa beralasan duduk di belakang lagi, mau tidak mau duduk di samping Binar. 


“Silahkan, duduk, Nyonya Binar!” gurau Binar malah membercandai Isyana memanggil Isyana dengan gelar istri nama Binar sendiri. 


“Issshhh...” desis Isyana tersipu dan merinding sendiri. “Namaku Isyana, bukan Nyonya Binar,” gerutu Isyana pipinya merona merah. 


Binar senyum- senyum sendiri. 


“Biar nggak kaku, soon kan supir akan memanggilmu begitu?” jawab  Binar lagi


"PD, emang kita pasti nikah? Saya belum kasih jawaban kan?” gerutu Isyana lagi jual mahal. 


“Aku nggak suka patah hati. Jadi kupastikan jadi!” jawab Binar percaya diri dan melajukan mobilnya. 


Isyana memilih diam, meredam jantungnya yang di dalam dadanya sedang berdendang sambil menatap jalanan.


Rasanya pipinya berat sekali mau diajak noleh ke samping kanan, serasa ada bara yang menekan. Tidak bisa dijelaskan rasanya. 


Binar sendiri bisa mengerti, memperlakukan perempuan yang 8 tahun lebih muda darinya berbeda dengan perempuan yang seumuran denganya seperti mendiang Bu Tiara.


Binar membiarkan Isyana diam apalagi sekarang kan sore menjelang maghrib. Binar memilih menyalakan sambungan radio agar suasana menjadi hidup dan sedikit rileks. Lama mereka saling diam, tapi lama- lama tidak kaku lagi.


Benar saja, beberapa penyiar radio ada yang ngelawak dan Binar bisa menangkap lesung pipit yang tercipta di pipi mulus Isyana. Isyana tersenyum, manis sekali. Ya, Isyana tipikal perempuan manis dan imut. 


“Suka dengerin radio?” tanya Binar memulai percakapan.


“Suka,” jawab Isyana. 


“Mau ganti chanel nggak?” tanya Binar lagi. 


“Nggak usah, ini aja!” jawab Isyana. 


“Oke... mau beli oleh- oleh buat Nenek dan Dina nggak?” tanya Binar lagi. 


“Nggak usah, nenek kan penjual makanan,” jawab Isyana lagi. 


“Oh ya yah?” jawab Binar mengangguk. “Oh ya, apa kamu masih ngamen?” tanya Binar 


“Kenapa?” jawab Isyana akhirnya berani menoleh ke Binar.


“Jangan ngamen lagi yah. Nenek juga, jangan malam- malam jualanya!” tutur Binar pelan. 


Isyana menelan ludahnya menghadap lurus lagi. Nenek sudah tua, benar kata Binar jangan begadang. Tapi kan mata pencaharian nenek dagang. 


“Nanti Saya bilang ke Nenek,” jawab Isyana lirih.  


“Kamu nggak ngamen lagi kan?” tanya Binar lagi. 


“Nggak!” jawab Isyana singkat.


Sejak dikatai Bu Wira, nenek melarang Isyana kerja.


“Baguslah, nggak baik ibu hamil kecapekan malam- malam. Nggak pantas juga, kamu udah mau 7 bulan kan?” tanya Binar lagi. 


“Iyah!” jawab Isyana mengangguk tanpa menoleh.


Rasanya ada gelenyar aneh diperhatikan begitu.


“Mamah kasih saku nggak sih? Atau uang kuliah aja.” tanya Binar lagi. 


Isyana jadi tidak nyaman ditanya Binar tentang uang dan Bu Dini.


Binar ternyata tahu, Isyana anak asuh Bu Dini yang kuliah dibiayai Bu Dini. 


“Maaf Tuan. Bisa bahas yang lain nggak? Saya turun di depan aja!” jawab Isyana.


“Hmmm... aku tuh calon suamimu,  nggak usah formal gitulah! Masa harus kucium lagi sih biar kamu ngerti. Jangan formal!” ucap Binar untuk yang kesekian kalinya meminta Iysna panggil Binar, Mas. 


Isyana diam, entah kenapa lidahnya sangat kelu. Berulang kali Binar memaksa tetap saja malu.


Bukanya berhenti di pertigaan yang diminta Isyana, Binar malah melaju terus. 


“Bawel banget sih? Disuruh berhenti!” gumam Isyana lirih dan melirik Binar.


Binar tersenyum tidak peduli malah mempercepat lajunya padahal di jalan sempit. Benar- benar .menyebalkan batin.


Seperti waktu itu, begitu tiba di depan rumah nenek, Binar sengaja kunci pintu mobil. 


Isyana yang risih, tadinya buru- buru buka mobil mau turun, dan kembali lagi Isyana dibuat mendengus kesal.


Isyana pun melirik Binar. Binar malah tampak memegang setir dan tersenyum puas. 


“Buka pintunya!” ucap Isyana dengan bibir mecucu. 


“Maaas, minta tolong, buka pintunya.., gitu dong!” ucap Binar merayu.


“Hhhh...” Isyana menghela nafasnya.


Kesal gemes, panas dingin, tersipu- sipu berkumpul jadi satu. 


Isyana baru pertama kali menemui laki- laki yang terus gombalin Isyana. Jadi masih gelagapan da terlihat mencolok salah tingkah. Binar kan jadi tambah suka ngerjain.


Waktu SMP dan SMA, Isyana kan tomboy, sukanya bantu Utinya ke ladang. Wajah manis Isyana tertutup caping dan terkena terik, meski ada beberapa anak yang naksir Isyana karena manis, mereka berperan sebagai teman yang akrab dan sopan. 


Ternyata begini rasanya digombali pria. Lana sendiri kan nggak pernah gombal ke Isyana. Lana saja awal jatuh cinta karena obat yang diberi Bu Wira. 


“Nggak mau turun  nih?” goda Binar lagi. “Ya udah ikut balik yuk!” goda Binar lagi mau ajak Isyana balik ke rumahnya. 


“Mas, tolong buka pintunya!” ucap Isyana cepat. 


“Lagi, yang lebih lembut dong. Jangan cuma ke anaknya, Daddynya juga suka dilembutin!” goda Binar lagi. 


“Huuuft...,” dengus Isyana gemas. 


“Oke... kita balik nih ya!” goda Binar  lagi. 


“Maaas, tolong buka pintunya!” ucap Isyana akhirnya patuh, berbicara denhan nada lembut.


Binar pun tersenyum lebar, “Gitu dong, sama calon suami itu yang lembut dan mesra!” ucap Binar lalu memencet tombol pembuka pintu. 


Isyana buru- buru keluar tanpa menoleh apalagi pamit. Tapi Binar pun tak kalah, ternyata dia ikut turun. 


“Ngapain turun?” pekik Isyana berhenti dan menoleh.


Binar tidak menjawab dan berjalan maju mendahuli Isyana. “Nggak usah GR aku ada perlu sama Dina!” jawab Binar.

****

Bersambung


Klik ini Untuk Lanjut ke bab Berikutnya 


gimana moms serukan kisah ini mempunyai plot alur cerita yang susah di tebak,ini permulaan yah moment yang menegangkan ada di pertengahan cerita.yuk kita lanjut lagi gaskuennnn







Posting Komentar untuk "Istri yang terabaikan Bab 148"