Istri yang terabaikan Bab 237

 Hello moms kembali lagi admin akan memberikan novel gratis yang sangat seru,novel ini merupakan salah satu novel yang lagi viral di FB loh..Novel ini menceritakan tentang balas dendam seorang istri yang tak anggap.Novel ini sangat seru loh moms dan mempunyai banyak penggemar setia.


Novel yang Berjudul “ ISTRI YANG TERABAIKAN “ ini menceritakan kisah seorang istri yang diabaikan oleh suaminya yang suka marah dan tidak menghargainya sebagai istri,kisah yang membuat kita larut ke dalam alur ceritanya ini sangat patut untuk dibaca yuk simak Novel nya…cekidot 😘🥰


Selesai?


Sesampainya di kamar hotel Binar langsung membanting ponselnya terbawa emosi. 


Hatinya sangat kacau. Binar ingat betul bagaimana mimik Isyana yang merengek, meminta Binar harus selalu on memberi kabar, tidak boleh dekat- dekat Bintang, tidak boleh ngobrol dengan Bintang atau perempuan lain kecuali kerja. 


Masih jelas tergambar di kepala Binar bagaimana Isyana mengancam. Sekarang setelah Binar menuruti semua kemauan Isyana, Binar hanya ingin pesanya dibalas tidak terkabul.


Padahal Binar sangat ingin bercengkerama mesra dengan Isyana. Saat ini hanya dengan telepon mereka bisa terhubung. Tapi Isyana tidak menyentuh barang pipih itu sedikitpun.


"Arrrrgh…," teriak Binar sangat kesal.


Binar tidak suka kalau dia harus bersabar dan menunggu sendirian apalagi menahan rindu. Sangat berat dan sesak baginya. Sampai Binar bingung bagaimana menyembuhkan dan mengobati sesaknya.


"Kemana sih dia? Kenapa tidak bisa dihubungi? Dia sendiri kan yang bilang, harus selalu memberi kabar? Apa ini? Dia yang mencurigaiku selingkuh? Tapi dia sendiri yang mengabaikanku!"


“Apa saja sih yang dia kerjakan? Apa dia tidak tahu aku sangat mengkhawatirkanya? Aku penting nggak sih? Aku suaminya! Seharusnya aku prioritas dan yang paling penting untuknya? Masa gitu aja nggak ngerti? Ya! Seharusnya aku yang paling penting? Ck!” gumam Bina marah- marah sendiri di kamar. 


Binar pun haus dan mencari minuman. Pihak hotel ternyata sudah menyiapkan minuman di kamar, mulai dari air mineral, kopi, syrup, teh dan alkohol.  


Binar mengepalkan tanganya, karena emosi dicueki Isyana, Binar malah jadi dendam ingin minum apa yang Isyana langgar. Binar mengambilnya dan membuka botolnya. 


“Mas! Jangan!” 


Sayangnya belum Binar menenggak, di depan Binar bayangan Isyana berdiri dengan muka marahnya. 


“Aih...,” Binar mengerjapkan matanya dan menggeleng, bayangan Isyana hilang, pas Binar mau minum datang lagi. 


“Ck... kenapa kamu datang terus tapi nggak angkat telponku sih? Hah!” Binar sampai bicara sendiri dan marah- marah sendiri. Botol minuman itu malah dia masukan ke tempat sampah.


Kesal tidak berbalas, Binar memejamkan matanya dan merebahkan badanya ke  kasur. Dia berharap tidur dan sesak di dadanya hilang.


Sayangnya bukan hilang, tapi dadanya terasa semaki sesak. Dia sangat ingin tersambung ke Isyana dan semua pesanya ditanggapi Tapi kenapa hanya membalas pesan saja Isyana tidak melakukanya.


“Apa terjadi sesuatu denganya? Apa terjadi sesuatu dengan Bian? Jangan- jangan Lana buat ulah?” gumam Binar kemudian. 


“Aku tanya Mamah aja kali?” gumam Binar memutuskan menelpon Bu Dini. 


“Kenapa nggak kepikiran dari tadi sih!” 


Binar langsung mengambil ponselnya lagi yang sudah dia banting di atas kasur tadi. 


“Thuuuut..., angkat Mah!”


Tidak selang beberapa detik, terdengar suara lembut dan tenang Bu Dini mengucapkan salam mengangkat telepon Binar. Binar pun bahagia bukan main.


“Waalaikumsalam Mah,” 


“Ada apa Nak?” tanya Bu Dini. 


“Isyana sama mamah kan? Isyana mana Mah?” tanya Binar tanpa bosa basi. 


“Hmmm,” Bu Dini berdehem sejenak. 


Bu Dini yang baru saja mendengar cerita Putri dan berbincang dengan Isyana langsung membuat kesimpulan. Anaknya sepertinya memang sudah bucin parah ke Isyana.


Bu Dini jadi tambah gatal ke Binar. Binar tidak sopan. Masa telpon ibunya langsung menanyakan Isyana, kalau mau ngomong sama Isyana ya ke Isyana. Bu Dini jadi ingin mengerjai Binar. 


“Kenapa memangnya?” tanya Bu Dini. 


“Ehm...,” Binar berdehem tidak malu. “Dia baik- baik aja kan? Dia seharian ngapain aja Mah? Nggak ada apa- apa kan?” jawab Binar bertanya lagi, tidak ada sungkan- sungkanya ke Ibunya. 


Bu Dini semaki geli mendengarnya. Sambil menggenggam ponsel di dekat telinga, Bu Dini mencari dimana Isyana dan sedang apa? Dari kejauhan Isyana tampak sedang mendengarkan Putri bercerita dan memegang bukunya. 


Bu Dini pun memilih tidak mau ganggu Putri.


“Baik, kenapa?” tanya Bu Dini lagi. 


“Oh syukurlah? Dia dimana Mah? Binar mau ngomong, bisa berikan teleponnya ke dia!” pinta Binar lagi semakin tidak sopan ke ibunya. 


“Isyana kan punya telpon Nak? Kenapa kamu tidak telpon dia ke ponselnya! Kenapa ke mamah sih?” 


“Ya itu masalahnya, dia nggak angkat telponku!” 


“Hmmm, jadi kamu telpon Mamah, mau ngobrol sama Isyana aja? Nggak mau ngobrol sama Mamah? Penting banget apa? Apa terjadi sesuatu?” tanya Bu Dini lagi sengaja membiarkan Putri tidak diganggu ayahnya. 

“Ehm... gak penting banget sih Mah, sebentar aja Mah. Binar mau ngomong bentar, kalau nggak sampaiin ke dia, suruh liat ponselnya!” titah Binar lagi. 


“Tapi Mamah mau ngomong sama kamu!” tutur Bu Dini lagi semakin mengulur Binar bicara dengan Isyana. 


“Ya... ya udah Mamah mau ngomong apa?” tanya Binar dengan nada malas. 


Selagi tersambung dan ada waktu dengan Binar, Bu Dini jadi penasaran dengan cerita Isyana tentang kamar. Bu Dini pun tanya. 


“Kamu katanya mau nambah lantai? Kamar Tiara ditempati, Putri? Benar begitu?” tanya Bu Dini. 


“Oh itu? Iyah... Isyana katanya tidak nyaman, di kamar Tiara. Jangka panjang depan kan anak- anak juga memang butuh kamar! Ya udah Binar tambah kamar aja!" jawab Binar.


"Tapi Putri masih kecil. Binar. Itu kamar terlalu luas. Dia takut lah!"


"Isyana tidak nyaman katanya!" 


“Tidak nyaman kenapa? Kamu barang- barang Tiara nggak dibereskan atau disimpan?” tanya Bu Dini. 


“Belum Mah!” 


"Ck. Pantas! Kenapa nggak disimpan sih?” jawab Bu Dini bertanya.


“Isyana yang bilang biarin, Mah! Binar hanya membereskan yang ada di ruang tamu aja! Maaf!” jawab Binar menjelaskan. 


“Hmmm... telat kamu sih?"


"Udah nggak apa- apa. Binar menang ingin buat tempat gym juga!"


"Oke. Terus kapan kamu mulai panggil arsitek dan tukangnya?” tanya Bu Dini. 


“Ya Binar terserah Isyana aja!” 


“Lho kata Isyana nunggu kamu!” 


“Binar nggak sempet kayanya Mah. Sok kalau mamah mau bantuin kalau mau dimulai aja!” jawab Binar lagi malah menyuruh Ibunya lagi. 


“Hmmm.. kamu gimana sih?,” Bu Dini hanya berdehem lagi. 


“Urusan rumah, terserah Isyana aja Mah. Makanya mana, Isyana Mah? Binar mau ngomong!!” jawab Binar lagi tidak sabar. 


“Ck.. kamu ini? Isyanamu, lagi belajarin Putri, nanti aja!” jawab Bu Dini kemudian. 


“Sebentar aja Mah!” rengek Binar lagi. 


“30 menit lagi telepon! Di sini maghrib. Biar sholat dulu!” jawab Bu Dini singkat, tidak mendengar rengekan Binar langsung matikan ponselnya. 


“Sholat Mah?” tanya Binar salah kira.  Sayanya Bu Dini sudah memutus sambungan teleponya. 


Binar langsung tertegun. 


“Aku nggak salah dengar kan? Apa maksud Mamah Isyana sudah sholat dan sudah selesai nifasnya?” gumam Binar bertanya dalam hati. 


Mendadak dada Binar mengembang kencang. 


“Itu berarti aku boleh mencampurinya? Haissh aku harus pulang kalau begini? Tapi pekerjaan belum selesai? Ish!” 


Binar yang mengambil kesimpulan Isyana sudah bersih jadi tidak sabar.


"Aku harus cepat pulang!" batin Binar lagi


Binar yang tadinya malas bekerja karena tidak kuat menahan sesak. Kini berubah pikiran jadi berfikir mau selesaikan cepat pekerjaanya.


Binar pun menelpon timnya untuk siapkan semuanya.


"Sekarang Bang?" tanya anak- anak kaget. Mereka baru sampai di sebuah tempat bermain.


"Sekarang!" jawab Binar cepat


Jangan lupa klik perbab ya kak biar semangat adminnya maakaccihh 😘


Bersambung


Klik ini Untuk Lanjut ke bab Berikutnya 


gimana moms serukan kisah ini mempunyai plot alur cerita yang susah di tebak,ini permulaan yah moment yang menegangkan ada di pertengahan cerita.yuk kita lanjut lagi gaskuennnn







Posting Komentar untuk "Istri yang terabaikan Bab 237"