Istri yang terabaikan Bab 100

 Hello moms kembali lagi admin akan memberikan novel gratis yang sangat seru,novel ini merupakan salah satu novel yang lagi viral di FB loh..Novel ini menceritakan tentang balas dendam seorang istri yang tak anggap.Novel ini sangat seru loh moms dan mempunyai banyak penggemar setia.


Novel yang Berjudul “ ISTRI YANG TERABAIKAN “ ini menceritakan kisah seorang istri yang diabaikan oleh suaminya yang ssuka marah dan tidak menghargainya sebagai istri,kisah yang membuat kita larut ke dalam alur ceritanya ini sangat patut untuk dibaca yuk simak Novel nya…cekidot 😘🥰


100. Mengenang Istri


"Bagaimana bisa dia berfikir mau berangkat kuliah. Apa dia tidak peduli dengan dirinya dan kandunganya? Perempuan macam apa dia?" gumam Tuan Aksa tatapanya menerawang jauh jari jemarinya sambil mengetuk- ngetuk meja.


Setelah membaringkan Putri di kamarnya, karena Tuan Aksa meninggalkan pekerjaan banyak, Tuan Aksa masuk ke ruang kerjanya untuk menyelesaikanya.


Benar saja, Saka mengirim email banyak berisi berkas- berkas yang harus dia periksa.


Sayangnya meski di depanya terpampang layar monitor komputer, yang muncul di mata Tuan Aksa malah bayang- bayang Isyana. Fokusnya pun berkurang.


Seharusnya pekerjaan selesai sebelum maghrib, karena tertunda makan dan sholat jam 19.30 Tuan Aksa masih sisa satu email lagi.


"Haish...," desis Tuan Aksa menyandarkan kepalanya di bangku kerjanya yang besar dan bisa diputar itu.


"Apa jangan- jangan dia juga masih ngamen? Sepenting itukah pekerjaanya. Bagaimana bisa seorang perempuan hamil, siangnya kuliah dan malamnya ngamen? Kenapa dia begitu? Apa mantan suaminya tidak menjamin nafkah untuk anaknya?"


Tuan Aksa jadi gelisah dan khawatir memikirkan Isyana. Isyana bagi Tuan Aksa seperti memaksakan diri berjuang di saat dirinya hamil, memprihatinkan dan membuatnya gemas.


Isyana jauh berbeda dengan Bu Tiara. Dulu begitu ketahuan hamil, Bu Tiara langsung off dari pekerjaanya. Jadi Tuan Aksa salut dan heran melihat perempuan seperti Isyana.


"Dia terlihat begitu baik, dia tidak terlihat seperti perempuan nakal dan selingkuh? Kenapa suaminya menceraikanya?"


Semakin memikirkan, penasaranya Tuan Aksa pun bertambah


"Tunggu- tunggu, siapa mantan suami Isyana? Kata pekerja di klinik kecantikan itu, dulu Isyana dijemput mobil berlogo Suntech? Apa Isyana istri orang Suntech? Dia berani menggunakan mobil kelas atas, dia bukan pegawai biasa. Siapa Isyana sebenarnya?"


"Seharusnya aku kenal bukan?" gumam Tuan Aksa lagi.


Tuan Aksa ingat saat Putri merengek ke greenhouse Isyana, tapi Isyana tidak di rumah. Tuti menunjukan fotonya kalau Isyana dijemput beberapa pria berseragam rapi.


"Hoooh...., dijemput? Ibukota? Menarik, siapa dia sebenarnya?" gumam Tuan Aksa lalu memeriksa ponselnya.


"Apa aku tanya saja? Kalau sampai malam ini dia ngamen, dia benar- benar payah, tapi bagaimana tanyanya?" gumam Tuan Aksa gusar


"Memalukan sekali kalau aku yang menanyakanya, Isyana kan tahu Putri belum bisa menulis dan membaca," gumam Tuan Aksa lagi.


Akhirnya Tuan Aksa meninggalkan satu berkasnya. Tuan Aksa membawa ponselnya, ke kamar Putri.


"Thok... thok..," Tuan Aksa mengetok pintu kamar Putri, lampu masih menyala.


Tuan Aksa ingin agar Putri yang voice mail ke Isyana. Akan tetapi saat pintunya dibuka, Mbak Nik baru saja menutup selimutnya.


"Selamat Malam Tuan," sapa Mbak Nik menundukan kepala.


Karena bahagia, Putri hari ini tidak rewel dan patuh pada Mbak Nik. Tentu saja dia ceria sekali pamer ke Mbak Nik, untuk pertama kalinya Putri bisa ngerasain gerak bayi dari luar perut.


Mbak Nik yang diceritain aja ingin juga rasain. Putripun tidur cepat setelah guru les ngajinya selesai mengajar.


"Malam. Putri sudah tidur?" jawab Tuan Aksa balik bertanya.


"Sudah Tuan. Alhamdulillah hari ini Putri terlihat sangat bahagia dan tidur cepat. Putri juga sudah menyelesaikan les ngajinya," lapor Mbak Nik dengan semangat dan sumringah.


Sebab bagi Mbak Nik sebuah prestasi bisa ajak Putri patuh dan nurut, biasanya kan rewel dan uring- uringan.


Sayangnya sesuatu yang bagi Mbak Nik prestasi, khusus malam ini? Atau mungkin mulai malam ini tepatnya, itu tidak menyenangkan bagi Tuan Aksa. Sebab tadinya Tuan Aksa berharap Putri belum tidur.


"Ya, sudah! Pergilah!" jawab Tuan Aksa lesu.


"Ya Tuan!" jawab Mbak Nikam pergi dari kamar Putri.


"Hhhhhuft!" selepas Mbak Nik pergi Tuan Aksa mengacak- acak rambutnya.


Kalau Putri tidak ngamuk, tidak ada alasan bertanya tentang kabar Isyana. Tuan Aksa mendekat ke Putri dan membelai rambutnya. Harapan menelpon Tuan Aksa harus dia pendam.


Tuan Aksa merssa tidak pantas kalau dirinya pribadi yang menghubungi Isyana.


Entah kenapa Tuan Aksa jadi mendadak risau memikirkan apa Isyana baik- baik saja? Apa Isyana patuh mengikuti dokter untuk istirahat? Atau tetap bekerja. Ditambah Tuan Aksa juga penasaran siapa orang yang jemput Isyana dengan mobil berstiker Suntceh.


Dulu Tuan Aksa tidak begitu peduli karena fokusnya ke Bu Tiara? Akan tetapi sekarang? Hal itu cukup menggelitik, mobil mewah unit mercedes bens yang harganya milyaran berstiker Suntech itu hanya petinggi Suntech yang punya.


"Dia juga kenal Mas Lana? Waktu itu aku melihat dia berbincang dengan Mas Lana dan istrinya. Sepertinya mereka kenal? Apa aku tanya Mas Lana saja? Tapi apa alasanku bertanya?" gumam Tuan Aksa.


Tuan Aksa masih malu menanyakam perempuan janda ke orang lain padahal dirinya jadi duda juga baru.


"Aku cek saja lah!" ucap Tuan Aksa memutuskan pergi ke tempat ngamen Isyana.


Dulu, saat Bu Tiara masih hidup, Bu Tiara selalu mengajak Tuan Aksa ke tempat ngamen Isyana.


Selain memberikan saweran yang banyak sebagai media membantu tanpa merendahkan, Bu Tiara juga suka menghabiskan waktu di tempat itu dan membuat suaminya tidak negatif thingking, terhadap Isyana.


Dari situlah, diam- diam bukan hanya Bu Tiara yang suka dengar lagu Isyana. Meski diam tak pernah memuji atau komentar, Tuan Aksa juga menikmati penampilan Isyana.


Karena Putri sudah tidur, Tuan Aksa memilih keluar seorang diri. Supir dan anak buah memang banyak, tapi Tuan Aksa suka keluar diam- diam sendiri, dengan pakaian casualnya. Tuan Aksa pun pergi ke tempat Isyana ngamen.


****


Di rumah Nenek.


Isyana mengepalkan tanganya, seketika emosinya memuncak memenuhi dadanya dan membuat sesak.


Akan tetapi Isyana baru saja dinasehati Nenek. Ah Nenek, kenapa kamu seperti Mbak Dukun? Kenapa baru tadi dibahas orangnya sudah ada di depanya.


"Jadi benar kamu menguntitku Mas? Apa mau kamu?" tanya Isyana ke orang yang duduk santai tidak tahu malu di kursi rotan, di ruang tamu rumah Nenek.


"Apa ini rumah tukang sayur itu? Apa dia di rumah? Kok aku nggak lihat?" tanya Lana dengan sengaja memancing emosi Isyana.


"Hoooh," Isyana sungguh sangat kesal. Apa maksudnya tanya tukang sayur ke Isyana.


"Katakan secepatnya apa maumu datang kemari. Dan segera tinggalkan rumah ini!" jawab Isyana tegas.


Isyana tidak mau meladeni Lana membahas Adnan. Isyana juga tidak mau duduk meski si tamu tak diundangnya sudah duduk duluan.


Lana tidak peduli Isyana atau ucapan Isyana. Lana malah matanya melihat sekeliling dan memperhatikan dengan seksama rumah Nenek. Fokus Lana jatuh ke foto Nenek dan Dina. Tak ada foto tukang sayur yang dia cemburui.


"Bukankah setelah kuceraikan seharusnya kamu bebas bersama pacarmu itu? Kenapa kamu justru tinggal bersama nenek tua ini?" tanya Lana mengambil foto nenek.


"Letakan foto itu!" jawab Isyana singkat, tamunya benar- benar kurang ajar.


Isyana tetap tidak mau menanggapi tuduhan Lana.


Isyana bertekad, sook weeh, Lana terus menuduhnya selingkuh. Kebal rasanya menjelaskan kalau Isyana tak ada hubungan dengan Adnan.


"Oh... nggak boleh dipegang. Oke. Maaf!" jawab Lana dengan gaya sombongnya meletakan foto nenek dan mengangkat tangan.


"Mau kamu apa Mas? Kenapa kamu datang ke sini? Darimana kamu tahu aku di sini?" tanya Isyana menahan emosi agar tidak meledak.


"Santay dulu dong... duduk sini. Apa kau lupa aku mantan suamimu?" jawab Lana mempersilahkan Isyana duduk.


"Hoooh," Isyana pun hanya bisa terpekik gemas.


Bisa- bisanya Lana berbicara begitu.


Rasanya Isyana malu dan menyesal pernah bersuamikan laki- laki tak punya muka seperti Lana. Baru kemarin dia memaki Isyana murahan untuk apa dia datang.


"Ayo duduk!" ucap Lana lagi.


"Katakan ada urusan apa kamu datang ke sini? Katakan dan tinggalkan rumah ini secepatnya atau aku teriak?" jawab Isyana mengancam.


"Okeh. oke.. tenang dong. Aku tidak akan berbuat jahat. Aku hanya ingin bicara baik- baik denganmu!" jawab Lana.


"Aku tidak merasa ada urusan dan punya kepentingan bicara baik- baik denganmu Mas. Kita sudah berakhir. Berakhir! Ngerti kan? Jadi katakan apa maumu? Dan tinggalkan tempat ini!"


"Tapi aku merasa aku punya kepentingan dan hubungan kita belum berakhir," jawab Lana.


"Whoaah?" pekik Isyana lagi.

"Itu anakku kan?" tanya Lana to the point melihat ke perut Isyana.


"Ah hahaha," Isyana kemudian tertawa mengejek.


"Kamu mengakuinya? Bukankah katamu aku murahan dan selingkuh? Kamu sendiri kan yang bilang?" jawab Isyana.


"Ehm...," sedikit terskak, akan tetapi karena sudah terlanjur muka tembok Lana tetap berdalih.


"Aku pernah sakit dan dokter menanyakan apa istriku sedang hamil saat itu. Mika tidak sedang hamil jadi aku yakin itu anakku!" jawab Lana berkilah, membuang muka tak berani menatap Isyana.


"Bisa saja kan kamu selingkuh dengan orang lain setelah bermain denganku. Tentu saja benihku yang lebih baik, bukankah begitu?" lanjut Lana masih mengejek.


Isyana diam mengepal, rasanya semakin sakit. Sangat sakit Lana masih terus menuduhnya selingkuh.


Akan tetapi kata Nenek Isyana harus melupakan. Isyana pun mengambil nafasnya berusaha tenang.


"Terus? Kamu mau apa kalau ini anakmu?" tanya Isyana.


"Dia pewarisku dia anakku, tentu saja aku punya hubungan dan mempunyai beberapa hak atasnya," ucap Lana.


"Aku bersumpah aku tidak pernah selingkuh Mas. Dan ya! Ini anakmu! Tapi!" ucap Isyana geram


Hati Lana mengembang begitu tau anaknya. Ya, Lana tidak bisa berbohong sorot matanya berbinar dan maju mendekati Isyana.


"Stop! Berdiri di tempatmu!" ucap Isyana.


Lana menelan ludahnya mencari ide beralasan.


"Aku ayahnya. Aku berhak memastikanya dia tumbuh sehat!"


"Kamu memang ayahnya. Tapi kamu tidak berhak apapun atasnya. Aku tidak ijinkan kamu menyentuhnya. Pergi dari sini dan jangan temui aku lagi! Dia akan tumbuh sehat bersamaku dan kami tidak butuh kamu?" jawab Isyana.


"Oh ya? Dengan kehidupan yang seperti ini?" tanya Lana mengejek lagi, sambil menoleh keadaan rumah Nenek secara tidak langsung mau bilang rumah Nenek jelek.


"Seperti ini? Ya seperti ini keenapa?" tanya Isyana.


"Tidak!"


"Tidak kenapa? Aku berhak menentukan dimana aku tinggal? Jangan campuri urusanku! Dan cepat pergi dari sini!"


"Isyana!"


"Pergi atau aku teriak!" bentak Isyana lagi


"Oke...okee... rendahkan suaramu. Aku baik lho datang ke sini. Aku ingin memastikan anakku sehat dan aku akan membuatmu lebih baik!"


"Tidak perlu. Aku lebih baik tanpamu. Pergi nggak!" bentak Isyana lagi


"Isyana...," rayu Lana lagi sangat tidak tahu malu.


"Satu! Dua!" ucap Isyana menghitung dan sebagai peringatan dia hendak berteriak.


"Oke! Aku pergi!" jawab Lana menyerah. Lana bangun dari duduknya.


"Tapi ingat kataku, Isyana. Pastikan anakku tumbuh sehat. Aku punya hak atasnya. Aku akan kembali menemuimu!" ucap Lana sambil berpamitan.


Isyana diam tidak menjawab dan menahan gemuruh di dadanya. Mata Isyana berkaca- kaca. Apa mau Lana. Tidak puas menghinanya memfitnahnya, bisa- bisanya dia datang sok- sokan peduli terhadap anaknya.


Isyana langsung menutup pintunya kasar dan menguncinya.


"Hiks... hikss....," selepas Lana pergi, tangis Isyana langsung pecah.


Isyana kemudian masuk ke kamarnya.


"Dia kan punya istri lagi? Tidak bisakah dia punya anak sendiri dan tidak usah mengusikku lagi? Tidak bisakah anakku punya ayah selain dia? Atau tidak usah punya ayah? Aku tidak ingin berurusan denganya lagi?"


Isyana menangis sendirian memeluk bantal yang nenek jahit sendiri sarungnya, sampai Isyana tertidur.


****


Di tempat ngamen.


Nenek dan Dina melakukan pekerjaanya seperti biasa. Nenek menjual makanan dan Dina ngamen dengan gitar okulelenya.


Beberapa ada yang tanya kemana Isyana. Akan tetapi mereka tak mempermasalahkan itu.


Hingga sekitar jam setengah 9 berjalan seorang laki - laki tampan memesan makanan ke Nenek dan bisa Nenek kenali. Ya nenek kenal sebab sebelumnya dia rutin datang bersama istrinya.


"Tuan...," sapa Nenek.


"Malam Nek.. saya pesan seperti biasa?" jawab Tuan Aksa melirik ke Dina yang sendirian.


"Oh ya Tuan!" jawab Nenek.


Tuan Aksa hanya melihat sekeliling, Tuan Aksa sedikit tersenyum karena Iysana tidak ada. Akan tetapi Tuan Aksa belum berani bertanya.


"Ini pesananya Tuan!" ucap Nenek memberikan sepiring makanan kesukaan Bu Tiara.


"Berapa Nek?" tanya Tuan Aksa bersiap membayar.


"Malam ini, saya ingin berterima kasih pada anda. Tidak usah membayar!" jawab Nenek.


"Kenapa begitu? Saya tidak melakukan apapun. Saya senang kesini, karena aku bisa mengenang istriku," jawab Tuan Aksa beralasan.


"Saya berterima kasih anda sudah menolong Neng Isya," ucap Nenek tersenyum


Tuan Aksa tersenyum, ada jalan untuk menanyai nenek tentang Isyana.


"Oh itu? Apa dia cerita?"


"Ya!"


"Saya yang minta maaf. Dia terluka karena kecerobohanku mengawasi Putriku? Apa dia baik-baik saja?" tanya Tuan Aksa.


"Ya. Insya Alloh dia baik- baik saja?"


"Jadi malam ini dia tidak bekerja?"


"Tidak. Neng Isyana malam ini istirahat," jawab Nenek.


Tuan Aksa pun mengangguk tersenyum dan lega.


"Terima kasih Nek!" jawab Tuan Aksa. "Oh ya. Minta tolong bungkus saja makanan ini, aku lupa ada pekerjaan yang harus aku selesaikan," jawab Tuan Aksa tiba- tiba berubah pikiran.


Katanya tadi mau mengenang istrinya, seketika minta dibungkus saja.


Nenek tersenyum, mengangguk dan membungkus makanan pesanan Tuan Aksa. Lalu Tuan Aksa pergi.


Dina yang melihatnya melirik.


"Itu Tuan Aksa bukan sih Nek?"


"Iyah?"


"Waah kan benar? Tuan Aksa ada rasa sama teteh!"


"Ngawur kamu. Dia kesini karena rindu istrinya!" jawab Nenek berkilag.99. Nyelonong.


“Teteh kencan lagi?” serang Dina begitu Isyana masuk ke rumah Nenek. Biasa Dina kan selalu kepo, mendengar suara mobil Dina ngintip dari jebdela.


“Apaan sih Din?” jawab Isyana malu. 


“Lah itu, itu kan mobil Tuan Aksa,” jawab Dina.


"Sama Putri kok," jawab Isyana.  


Isyana melengos masuk meninggalkan Dina. Isyana langsung ke belakang, mandi dan bersih- bersih lalu minum obat. 


Dina pun jadi satpam, menanti Isyan sambil bersedekap siap meng interogasi. 


“Dina kasih tahu Nenek lho, Teh!” pancing Dina sangat kepo ingin dengar cerita Isyana. 


“Hhhhh...,” Isyana menghela nafsnya.


Adik bertemu besarnya ini memang sangat cerewet. 


“Teteh habis dari rumah sakit, Din, bukan kencan. Kamu jadi adik bukanya kasian malah!” jawab Isyana cemberut.


“Hoh...,” pekik Dina kaget langsung dengan ekspresi panik. 


“Teteh kenapa?” tanya Dina. 


“Gara- gara jatuh tadi pagi, pinggang teteh sakit. Pas di kampus udah teteh obatin sih pakai minyak, udah mendingan. Eh pas siang- siang tahu- tahu, Tuan Aksa dan Putri di depan,” tutur Isyana bercerita. 


“Jemput gitu maksudnya?” tanya Dina. 


“Iyah!” jaawab Isyana. 


“Waaah, fiks ini Tuan Aksa lagi melakukan gencatan senjata buat deketin Teteh,” tutur Dina menggebu. 


“Plak!” Isyana langsung memukul wajah Dina dengan bantal. 


“Teteh...,” pekik Dina.


“Ngarang kamu ih. Mana ada laki- laki yang pedekate sama orang bunting kaya Teteh. Tuan Aksa mah kaya, ganteng, pasti banyak yang mau sama dia, selevel sama dia! Kalau ngomong dijaga!” omel Isyana. 


“Iiih Teteh, teteh selevel juga kok sama dia, buktinya mantasn suami Teteh juga teman Tuan Aksa kan, sekarang aja nasib Teteh sedang tidak baik,” jawab Dina kekeh. 


“Nggak. Tadi itu Putri yang ajakin, semalam Putri ngamuk gara- gara merasa dibohongi, Tuan Aksa janjiin aku datang tapi aku nggak datang, jadilah tadi nemuin aku,” ucap Isyana menjelaskan ke Dina. 


“Ah masa... gegara Putri aja? Bapaknya enggak?” ledek Dina lagi centil. 


“Hiiisssh... bawel banget sih dibilangin!” 


“Dina suka kok teh, sukaa, Teteh sama dia kan pas dia duda teteh janda.” Gurau Dina semakin menjadi tidak peduli sebentar lagi dimarahi Nenek.  


“Dina!” bentak Isyana. 


“Hehehehe,” Dina malah terkekeh. 


“Tak pukul lagi kamu lho!” ancam Isyana kesal, kenapa Tuhan kasih Isyana orang baru seiseng Dina. 


“Tapi kalau kata Dina beneran, teteh mau kan nikah sama dia? Msu kan Teh?” gurau Dina lagi sambil ambil ancang- ancang lari.


Isyana pun langsung melotot dan mencari barang di dekatnya bersiap dilempar ke Dina.


"Dinaaa!!" teriak Isyana kesal.


Dina langsung lari ke dalam berlari berlindung ke Nenek yang di dalam selesai sholat.  


Rumah nenek kan tidak besar dan tidak ada ternitnya juga, meski tidak terlalu fokus, nenek masih bisa mendengar percamapan cucu dan anak angkatnya itu.


Nenek juga sebenarnya bukan tidak setuju Isyana dengan Tuan Aksa, tapi nenek takut Isyana kembali terluka.


Apalagi Nenek tahu, nenek bertemu dengan Isyana saat Isyana pergi dari rumah Tuan Aksa. Sebab mau diusir.


“Sore- sore jangan teriak, pamali ah... sigana di hutan, tereak tereak,” omel Nenek. 


“Hehe...Iya Nek, maap!” jawab Dina. 


Nenek kemudian keluar menemui Isyana. 


“Kamu sakit apa Neng?” tanya Nenek. 


“Isyana jatuh, Nek. Putri hampir ketabrak temen Putri pas mau nyebrang di depan kampus, Isyana lari nolongin dan jatuh. Jadi tulang belakang Putri sakit. Tadi sempat nggak bisa jalan, terus dibantu Tuan Aksa ke rumah sakit,” ucap Isyana akhirnya cerita lengkap ke Nenek.


Kalau dengan Dina kan cerita singkat. Ceritanya cuma jatuh pas di rumah bukan jatuh yang terakhir. Dina yang nguping pun otaknya langsung travelling. 


“Wuaaah,” pekik Dina nongol lagi semakin kepo. Dina menyerobot Nenek yang mau bicara.


“Jadi Teteh tadi jatuh lagi di kampus? Terus nggak bisa jalan? Ditolong Tuan Aksa, iyah? Ooooh teteh? Berarti teteh jalan berdua gitu Teh? Ooh sweetnya?” cerocos Dina berdiri girang sambil menghentakan kaki dan menyatukan tangan di depan dada gemes. 


Bayangan Dina, Tuan Aksa memapah Isyana seperti di adegan film yang Dina tonton, padahal kenyataanya lebih so sweet. Isyana bukan hanya dipapah, tapi langsung digendong. 


Wajah Isyana pun langsung merona merah. Bahaya cerita ke Dina, otaknya terlalu liar dan mulutnya nggak punya rem. 


“Aiiih Dinaa,” pukul Isyana lagi, tapi Dina tetap ketawa ketiwi. 


Sementara Nenek hanya menghela nafasnya dan mengggeleng- gelengkan kepala. 


“Apa kata Dokter?” tanya Nenek, memecahkan suasana, Dina pun jadi diam. 


“Ishh... Nenek!” desis Jingga gagal mengulik Jingga.


“Alhamdulillah, dhedhe sehat Nek. Ya seperti halnya orang sehat jatuh, kan memang nyeri, ditambah Isyana sedang hamil, jadi nyeri pinggang. Udah dikasih obat udah mending sih Nek. Kalau sampai besok nggak bisa jalan, Isyana perlu ke dokter syaraf. Tapi ini sekarang udah bisa jalan. Cuma emang, sehari dua hari ini teteh harus hitung gerak dhedhek, kalau dhedhek masih aktif sih aman,” jawab Isyana detail memberi tahu. 


Nenek mengangguk mengerti. Tangan nenek terulur memegang perut Isyana lembut sambil bicara. 


“Malam ini nggak usah ngamen, biar Nenek yang jualan sama Dina ya. Kamu istirahat, sini nenek obati,” ucap Nenek. 


“Hoh! Nenek bisa obatin?” tanya Isyana.


“Angkat kakimu sini,” ucap Nenek lagi.


“Iya Nek,” jawab Isyana menuruti Nenek.


“Din,” panggil Nenek. 


“Ya!” 


“Ambilkan minyak telon sama handbody!” 


“Ya, Nek,” 


Nenek kan dulu mantan dukun paraji. Isyana kemudian mengangkat kakinya. Nenek memijat kaki Isyana dengan telaten.


Bukan perut atau area Isyana yang sakit yang nenek pijat, melainkan telapak kaki dan kaki. Tapi Isyana merasa sangat enak. Pijatan Nenek benar- benar joss. 


Bahkan di usia nenek yang sudah tua, dari ashar sampai maghrib, Nenek baru selesai memijat. Kalau tidak ada adzan maghrib mungkin masih lanjut. 


“Padahal kaki yang dipijat ya Nek? Tapi kok enak banget?” jawab Isyana jujur. 


“Kalau kamu nggak hamil, sekujur tubuh, Nenek bisa,” jawab Nenek. 


“Waah nenek ternyata hebat. Makasih banget ya Nek, Isyana seneng banget ketemu Nenek,” jawab Isyana terharu sambil pegang tangan nenek. 


Nenek mengangguk, dengan wajah teduhnya. 


“Dina juga bisa Teh!” celetuk Dina yang sedang duduk dengan kaki bersila di atas bangku sambil nonton tivi. 


“Masaa?” gantian Isyana yang ledek Dina. 


“Tinggal nunggu Nenek kasih jimatnya aja,” jawab Dina ngebanyol. 


“Helllehhh,” jawab Isyana gemas ke Dina, Dina memang selalu pengen ditampol. 


Nenek tapi bahagia, sejak ada Isyana bakat cerewet Dina tersalurkan, saat hanya berdua, mereka banyak diamnya, sebab Nenek kan nggak asih diajak bercanda. 


“Sudah- sudah. Sana sholat, kita makan! Dina ikut Nenek, Neng Isya istirahat ya!” ucap Nenek lagi. 


“Ya, Nek!” 


Meski bawel, tapi saat nenek bertitah Dina patuh. Mereka bertiga kemudian sholat dan makan bersama.

Meski makanya hanya sayur bayam dan tempe goreng itu saja diambilkan dari dagangan Nenek, mereka bertiga selalu lahap makan bersama dan tidak pernah melewatkan satu sama lain kecuali Isyana pamit kuliah. 


“Teteh lagi sakit, Dina cuci piringnya ya!” ucap Nenek. 


“Ya, Nek,” jawab Dina. 


Setelah Dina ke belakang, nenek menatap Isyana dalam. 


“Apa kamu sudah melupakan mantan suamimu?” tanya Nenek tiba- tiba. 


“Lupa bagaimana Nek?” 


“Apa kamu masih mencintainya?” tanya Nenek lagi. 


Isyana diam menunduk, semua masalalunya datang. Isyana mengambil nafas beratnya dan memandang kosong menghindari tatapan Nenek. 


2 tahun membina biduk rumah tangga, meski tak mendapat perlakuan sebagaimana mestinya. Tapi dulu, setiap malam, selalu tercurah untaian doa, berharap dan meminta Lana menatap ke arahnya, menerimanya dan mencintainya. 


Setiap harinya dengan tulus Isyana berusaha memberikan yang dia bisa agar Lana tidak marah dan senang. Kebahagiaan itu sempat Isyana rasa di dua minggu terakhirnya. Akan tetapi harapan Isyana yang sedang melambung dihentakan kasar langsug ke bawah. Sakit sekali. 


Walau menunjukan perubahan sikap, Lana tak kunjung mengucapkan kata cinta. Yang Ada Lana malah menyakitinya. 


“Tidak, Nek! Yang Isyana rasa hanya sakit kalau ingat!” jawab Isyana. 


“Kalau kamu masih ada rasa sakit, berarti kamu masih mecintainya,” jawab Nenek. 


Mendengar kata Nenek, Isyana langsung mendelik tidak terima. 


“Nggak Nek. Isyana tidak cinta,” jawab Isyana tegas.


“Lalu, apa kamu akan tetap menyembunyikan anakmu darinya?” 


“Iyah,” 


“Kenapa?” 


“Isyana kesal. Dia yang fitnah Isyana kok Nek. Isyana tidak rela kalau dia ambil anak ini, atau anak Isyana ber_ayahkan dia,” 


“Kenyataanya siapa ayahnya?” tanya Nenek lagi. 


Isyana menunduk. Jawabanya ya dia. 


“Kalau memang tidak cinta, seharusnya kamu tidak perlu memendam rasa apapun lagi. Ikhlaskan...semuanya, tanpa dendam. Percaya semua ini sudah diatur dan menjadi jalan terbaik hidupmu!” 


“Rasa sakit dan cinta itu biarlah sama- sama melebur pergi. Ya semua rasa seharusnya lebur, benar- benar tak ada rasa, lepaskan semuanya. Cinta atau sakit yang bersarang di hati, dan tidak ditempatkan sebagaimana mestinya akan menghalangi jalan kita, Nak. Sakitmu itu berasal dari kecewanya kamu atas perasaan dan harapanmu yang tidak sesuai kenyataan,” 


“Nenek tidak minta kamu melupakanya, tapi buang rasa sakit itu. Buang semua harapanmu yang tidak terwujud, jika memang kamu ingin bebas. Untuk bisa melangkah ke depan dengan ringan. Kamu harus bisa melepaskan semua beban masalalumu,” tutur Nenek panjang dan tenang. 


Isyana diam, mendengarkan dan meresapi, tapi masih belum menyadari. Isyana kemudian menatap nenek penuh tanda tanya. 


“Kenapa Nenek tiba- tiba bahas suami Isyana, Nek?” tanya Isyana tiba- tiba. 


Nenek hanya tersenyum tenang, tidak menjawab beberapa detik memberi jeda dan menatap Isyana. 


“Nenek tidak mau kamu salah langkah, Neng!” jawab Nenek. 


“Maksud, Nenek?” tanya Isyana lagi. 


Nenek tidak menjawab dan memilih bangun. Nenek malah siap- siap jualan. 


“Pikirkan kata- kata, Nenek Neng!” ucap Nenek lagi sambil berpamitan.


“Iya Nek,” 


“Tutup pintunya kalau mau tidur ya, tapi grendelnya jangan, dikunci saja!” ucap Nenek lagi.


“Ya Nek,” 


“Ayo... Din!” panggil Nenek. 


Dina pun segera keluar membawa bahan daganganya. 


Isyana mengunci pintunya dan masuk ke kamarnya. Isyana menyandarkan tubbuhnya ke kasur, karena masih sore Isyana belum mau tidur. Isyana kemudian mengambil buku kuliahnya. Isyana berniat belajar. 


Baru Isyana membaca 2 halaman, si bayi pintarnya bergerak. Isyana menutup bukunya dan memilih mengelus perutnya sambil tersenyum. 


“Alhamduilillah, kamu sehat, Nak! Maafkan Ibun ya... yang sudah mengajakmu berjuang sekeras ini. Tolong jadi anak kuat ya. Ibu lakukan ini agar kita nanti bisa bahagia bersama,” ucap Isyana bicara sendiri di kamarnya. 


Isyana kemudian terdiam. 


Usia kehamilanya masih trimester dua, 7 bulan saja belum. Akan tetapi ternyata hamil memang tidak mudah, hari ini saja Isyana bolos kuliah. 


“Ya... Tuhan, aku mohon, kali ini, mampukan aku menyelesaikan kuliahku. Ijinkan aku punya bekal untuk berjuang menjadi ibu yang tangguh untuk anakku,” batin Isyana meneteskan air matanya. 


Isyana sudah merasakan sakitnya dihina. Isyana tahu memang usaha sekecil apapun bisa memberinya jalan untuk hidup dan makan.


Akan tetapi Isyana berfikir kelak akan ada anak yang butuh masa depan. Kalau hanya ngamen tak menjanjikan.


Isyana masih belum terfikir untuk bersuami lagi. Isyana hanya berfikir harus punya sesuatu yang bisa dia andalkan agar masa depan anaknya tidak seperti dirinya, pendidikan.


Meski masa depan Tuhan yang tahu. Akan tetapi tawaran Bu Dini buat Isyana adalah kunci besar hidupnya. 


“Apa aku bisa benar- benar lulus kali ini? Ya.. aku pasti bisa,” gumam Isyana mangafirmasi dirinya sendiri.


Di saat yang bersamaan, perut Isyana bergerak lagi. Seakan anak Isyana menjawab bisa. Isyana tersenyum. 


“Terima kasih Sayang, kamu pintar sekali, Nak. Terus tumbuh sehat ya,” ucap Isyana senang. 


Lalu di otaknya datang angan, seperti apa rupa bayinya nanti. 


“Dheg,” saat Isyana menebak- nebak bayinya nanti seperti apa, bayangan Lana pun kembali datang. 


“Bagaimana kalau nanti mirip Lana?”  


“Benar kata Nenek, aku tidak boleh membencinya. Kata orang kan kalau benci nanti mirip?” gumam Isyana berfikir.  


"Ah masa bodo ah.. Anakku ya anakku,"


Karena galau dan resah memikirkan kata Nenek, ditambah Lana. Isyana berniat merefresh otaknya dan ingin minum.


Isyana bangun dan mengambil air putih ke dalam. 


Saat Isyana mengambil air putih, dari pintu terdengar suara ketukan pintu. 


“Thok... Thokk... Assalamu’alaikum,” 


Isyana mendadak dheg- dhegan.


Isyana dan Nenek kan setiap malam hampir selalu jualan jadi tidak pernah ada tamu. Siapa yang bertamu malam- malam. 


“Masih jam 8, apa Nenek laris banget? Tapi suaranya bukan suara Nenek sama Dina?” gumam Isyana berfikir.


"Thok.. thok..," suaranya terdengar lagi.


"Siapa sih? Tetangga sebelah kali ya?" gumam Isyana berjalan keluar.


“Thok... thok..., Assalamu’alaikum,” suara itu terdengar lagi. 


“Waalaikum salam, ya sebentar...” jawab Isyana dari dalam dengan gugup, karena orang itu terus mengetuk Isyana jadi lupa cek dulu dari jendela dan merasa harus keluar. 


Pelan- pelan Isyana pun memutar gagang kuncinya, lalu membuka pintunya.


"Kamu?" pekik Isyana kaget.


"Boleh aku masuk?" tanya orang itu di depan pintu.


Mendadak nafas Isyana memburu. Isyana tidak menjawab apapun dan menoleh ke sekitar, jalanan sepi, terdengar orang nongkrong main gitar di ujung gang. Isyana bingung.


"Oke. Aku masuk!" ucap orang itu tidak tahu malu nyelonong masuk.


Bersambung


Klik ini Untuk Lanjut ke bab Berikutnya 


gimana moms serukan kisah ini mempunyai plot alur cerita yang susah di tebak,ini permulaan yah moment yang menegangkan ada di pertengahan cerita.yuk kita lanjut lagi gaskuennnn







Posting Komentar untuk "Istri yang terabaikan Bab 100"