Istri yang terabaikan Bab 2

Hello moms kembali lagi admin akan memberikan novel gratis yang sangat seru,novel ini merupakan salah satu novel yang lagi viral di FB loh..Novel ini menceritakan tentang balas dendam seorang istri yang tak anggap.Novel ini sangat seru loh moms dan mempunyai banyak penggemar setia.


Novel yang Berjudul “ ISTRI YANG TERABAIKAN “ ini menceritakan kisah seorang istri yang diabaikan oleh suaminya yang ssuka marah dan tidak menghargainya sebagai istri,kisah yang membuat kita larut ke dalam alur ceritanya ini sangat patut untuk dibaca yuk simak Novel nya…cekidot 😘🥰


2. Harapan


Sebagai putra tunggal orang ternama di negerinya, tentu saja Lana tahu bagaimana cara bersikap dan menjaga kehormatan keluarganya. 


“Jangan pernah katakan apapun tentang rumah tangga kita! Kau harus ingat itu! Panggil aku dengan sebutan Mas!” tutur Lana selama di mobil. 


“Ya! Saya tahu!” jawab Isyana dingin. 


Sekitar pukul 12 malam, mobil mewah yang Lana kendarai sendiri memasuki halaman rumah di sebuah desa. 


Bendera kuning tertancap di gapura masuk ke gang jalan desa yang berpagarkan tanaman hijau dan terpangkas rapih. 


Sebuah rumah dengan gaya kuno, bertiangkan kayu- kayu tua dan mengkilap karena plistur, lantainya juga terlihat sangat bersih, dindingnya ukiran kayu, rumah klasik tetapi elegan.


Dari Rumahnya tergambar jelas bahwa si empunya kalangan orang menengah ke atas dan menicintai budaya.


Tuan Atmadja Subiyantoro dialah pemilik rumah itu, Bapak Isyana yang beberapa waktu lalu menghembuskan nafas terakhirnya.


Dia adalah mantan seorang saudagar tanah di wilayah itu yang menguasai perkebunan kentang dan teh. 


Sayang semenjak menikahi istri keduanya dia banyak merugi dan beberapa ladangnya terjual.


Di ruang tamu yang tampak seperti aula desa itu, warga setempat dan sanak saudara berkerumun menunggu dan melakukan banyak ritual penghormatan 


“Bapak....!” Isak Isyana sesampainya di rumah orang tuanya yang bertahun- tahun Isyana tinggalkan. 


Sejak ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi, Isyana diungsikan ke rumah neneknya di provinsi tetangga, saat itu usia Isyana masih 10 tahun. Isyana ikut neneknya dengan dalih agar menemani neneknya dan agar tidak terus bertengkar dengan saudara tirinya. 


“Nggak usah banyak drama. Bapakmu memang sudah waktunya mati!” gertak Lana menghentikan mobilnya. Lana sangat membenci Isyana menangis.


“Hiks... hiks...!” Isyana masih menahan isaknya dan menyeka air matanya.


Ucapan Lana yang menyuruhnya berhenti menangis justru menjadi ucapan yang membuat tubuh Isyana, bereflek menangis lebih keras.


Betapa tidak, setiap insan sewajarnya merasakan sakit ditinggal orang terkasih. Apalagi sosok ayah, cinta pertama bagi seorang putri. 


Seharusnya di saat Isyana rapuh seperti ini, Lana lah orang yang pertama kali mengulurkan tangan menyeka air mata Isyana dan menyediakan bahu tempat melepur sedihnya.


Nyatanya Lana justru menambahkan torehan luka Isyana. 


Isyana melepas seat beltnya dan segera turun. Semua yang ada di situ menyambut Isyana dengan anggukan ramah, begitu juga terhadap Lana, semua memberikan hormat. 


Sayangnya di setiap Isyana dan Lana berjalan, ibu- ibu atau bahkan bapak- bapak yang mempunyai mulut ember akan berkasak kusuk. 


“Nggak imbang banget ya? Suaminya tinggi putih bersih ganteng, istrinya kucel, rambutnya keriting berantakan lagi!” 


Kasak- kasuk itu sangat membuat Isyana tidak nyaman. Lebih dari Isyana kasak kusuk itu membengkakan telinga si laki- laki tampan yang menjadi objek berita. 


Lana memilih menahan amarah dan melampiaskan pada Isyana, sebab jika menanggapi warga, itu bisa menjatuhkan reputasinya. 


Lana dan Isyana bersikap layaknya anak dan menantu, melihat jenazah yang telah terbujur kaku, berdo’a bersama- sama dan memberikan penghormatan terakhir. 


Isyana tak menyiakan kesempatan untuk meriung bersama keluarganya, sampai pagi tiba dan acara pemakaman selesai.


Lana juga memerankan peranya dengan sangat apik, menjadi menantu keluarga yang terkena musibah. Lana juga menyapa para pelayat dengan ramah.  


Sesuai dengan perkiraan Mika. Orang tua Lana yang berada di luar negeri begitu mendengar besanya meninggal langsung pulang ke negaranya. Meskipun kedatangan mereka sedikit terlambat karena upacara pemakaman telah usai.


Mereka tiba, tepat saat Isyana dan Lana bersiap pulang. 


“Papi... Mami,” sapa Lana langsung menyambut orang tuanya. 


“Kalian mau kemana?” tanya Ayah Lana melihat anak dan menantunya sudah rapih. 


“Pulang Pih!” 


“Pulang gimana? keluarga istrimu sedang berkabung. Tinggalah di sini, setidaknya satu malam lagi. Sebagai menantu kau harus ikut doa bersama!” bisik Tuan Wira Hanggara ayah Lana. 


Lana pun tidak bisa berkutik, mengangguk dan menghentikan langkah, mengurungkan niat untuk pulang.  


"Ya, Pih!"


“Papa Mama ikut berbela sungkawa, Sayang!” tutur Tuan Wira menghampiri Isyana yang berdiri mematung di belakang Lana.


“Ya.. Pah!” jawab Isyana sopan.


“Malam ini Papa Mama akan ikut doa bersama, menginap di sini!” tutur Tuan Wira lagi. 


Lana dan Isyana kemudian mengurungkan niatnya untuk pulang. Mereka kembali masuk.


Tentu saja Ibu tiri Isyana dan saudaranya tak jadi bersungut- sungut. Mereka tersenyum bahagia kedatangan tamu besan kayanya.


Jika Isyana dan suaminya akan ketus dan dingin ke ibu tiri Isyana, berbeda dengan Tuan Wira dan istrinya. Mereka membawa oleh- oleh yang banyak dan sangat ramah. 


Sembari menunggu acara doa bersama. Lana bersama ayahnya di luar menyapa tamu. Isyana bergabung dengan para tetangga dan ART menyiapkan masakan. 


“Kemarilah!” seret ibu tiri Isyana. 


“Ada apa Bu?” tanya Isyana. 


Ibu tiri Isyana mengajak Isyana masuk ke kamar dan menepi dari keramaian.


“Tanda tangani ini semua!” ucap ibu tiri Isyana memberikan beberapa berkas sertifikat tanah dan surat kuasa. 


“Ibu!” pekik Isyana tidak mengira


Baru tadi siang bapaknya dimakamkan, ibunya sudah membahas warisan. Isyana menelan ludahnya tak percaya, ada apa dengan semua orang? Kenapa di sekeliling Isyana seakan semua orang jahat dan tidak punya hati. 


“Tanda tangani surat kuasa ini. Suamimu sudah kaya kan? Hidupmu sudah enak, jangan serakah! Biarkan peninggalan bapakmu jadi milik kami! Adik- adikmu masih butuh biaya kuliah!” ucap Ibu Tiri Isyana bersungut - sungut dengan tatapan sinisnya.


“Hhhhh!” Isyana hanya bisa menghela nafas menahan tangisnya.


Isyana bingung mau bilang apa.


Isyana hanya bisa mengangkat wajahnya, menatap sekilas wajah perempuan keji yang hadir di hidupnya.


Bisa- bisanya di hari kematian suaminya, ibu tiri Isyana menyempatkan membuat surat kuasa.


Sejak ibunya meninggal, kebahagiaan Isyana seakan terampas dan benar- benar hilang. 


Keluarga Isyana dan orang tua Isyana seharusnya menjadi tempatnya berharap dan berlindung saat Isyana dalam derita. Nyatanya pulang ke rumahnya semakin menambah lara. 


“Cepat! Memang kau kurang apalagi? Kau menjadi menantu tunggal di keluarga itu, tanah bapakmu tidak berarti apa- apa kan? Ayo tanda tangani sekarang!” desak Ibu Tiri Isyana memaksakan Isyana menggenggam balpoin dan menuliskanya di kertas. 

Isyana ingin melawan dan berteriak, tapi di luar kamar, para sanak saudara dan tetangga berkumpul.


Apa jadinya jika Isyana melawan dan bertengkar, belum lagi mertuanya juga ada di sini.


Entah pada siapa Isyana bisa mengadu. Bahkan kehidupan rumah tangga Isyana seperti dalam penjara.


Isyana tidak bisa banyak berfikir dan akhirnya patuh saja. Isyana tanda tangan atau tidak, toh harta ayahnya memang sudah dikuasi ibu tiri dan anak- anaknya. 


“Bagus!” tutur Ibu tiri Isyana menarik cepat surat bermaterai yang berisikan surat kuasa bahwa Isyana menyerahkan hak warisnya pada saudara tirinya. Surat itu sudah Isyana tanda tangani. 


Isyana hanya terdiam, bahkan air matanya seperti sudah kering. Isyana menjadi limbung hendak berbuat apa.


Isyana kemudian keluar dan ikut acara doa bersama. Berusaha setegar mungkin menghadapi ibu- ibu pengajian.


Saat Isyana berdekatan dengan ibu mertuanya. Isyana memang mendapatkan perlakuan yang sangat lembut. Itulah satu- satunya tempat Isyana mendapatkan perlindungan.


Sayangnya setiap pergerakan Isyana tak luput dari pengawasan Lana. Lana sangat takut jika sampai Isyana keceplosan membicarakan aib suaminya. 


Setelah beberapa waktu berlalu, acara doa bersama selesai.


Asisten rumah tangga ibu tiri Isyana pun sudah menyiapkan kamar untuk mereka. 


“Ini sudah tahun kedua pernikahan kalian, kapan ada cucu untuk Mama?” tanya ibu Lana di sela- sela obrolan menjelang masuk ke kamar masing- masing. 


Mendengar pertanyaan itu, Isyana tertunduk lesu. Lana pun hanya berdehem. 


“Minumlah ini!” ucap Ibu Lana memberikan satu butir obat ramuan. 


“Apa ini Mah?” tanya Lana curiga dan sangat tidak nyaman. 


“Sudah minum, ayo!” ucap Mama Lana lagi memaksa dan memberikan segelas air putih agar Lana segera meminumnya.  


Di depan Isyana, ayahnya dan mertuanya Lana tak berkutik dan terpaksa meminum obat itu. Entah obat apa.


Setelah semua tamu pergi, Lana dan Isyana masuk ke kamar yang telah disediakan. Kamar 4 x 4 dengan dinding kayu dan ranjang dengan kelambu. Kamar yang luas dan klasik untuk masyarakat desa tapi menjadi kamar yang sempit jika dibanding hotel tempat Lana biasa menginap. 


“Apa di sini tidak ada sofa?” bentak Lana galak lagi setelah mereka sampai di kamar. 


“Kalau kau tak bersedia tidur denganku, aku akan tidur di kamar lain!” jawab Isyana peka.


Isyana tahu kalau Lana enggan tidur denganya. 


“Kau bilang apa? Hah? Tidur di kamar lain? Kau sengaja ingin membuat ayahku jantungan? Iya! Kau tau kan aturan saat ada orang tuaku?” tanya Lana lagi dengan tatapan bengis.


Lana dan Isyana harus bersikap baik di hadapan orang tuanya.


“Ya.. aku tahu! Aku akan tidur di bawah!” jawab Isyana lemah. 


“Bagus ! Otakmu ternyata masih berfungsi!” jawab Lana.


Lana kemudian melemparkan bantal dan selimut dengan kasar, membiarkan Isyana tidur di lantai.


“Sampai kapan aku akan bertahan seperti ini?” batin Isyana meringkuk dengn selimutnya, merasakan dinginya lantai menyergap kulitnya. 


Isyana kemudian terfikir perkataan mertuanya. 


“Apa jika aku hamil dan mempunyai anak, suamiku akan sayang padaku? Bagaimana mungkin aku bisa punya anak, jika diaa saja tak sudi menyentuhku?” batin Isyana lagi, tiba- tiba hatinya merasa ngilu. 


Selama jadi istri Lana, sekaya apapun suaminya, tak sepeserpun Isyana pernah mendapatkan nafkah kecuali makanan.


Isyana tak pernah membeli make up atau alat untuk berhias. Alat mandipun adalah jatah yang sudah diatur kepala pembantu di rumah besar suaminya. Isyana benar- benar menjadi iatri yang jelek.


Memikirkan bagaimana Isyana melarikan diri dari hidup malangnya semakin membuat Isyana pusing. Isyana kemudian mencoba memejamkan matanya.


Belum Isyana terlelap. Isyana mendengar suaminya gelisah tidur kekanan dan ke kiri. Padahal beberapa menit sebelumnya Isyana sempat mendengar dengkuran halus suaminya.


“Dia kenapa?” batin Isyana melirik Lana.


Pemandangan yang sangat jarang bisa Isyana liat, melihat suaminya tidur di atas kasur. 


Isyana mencoba mengalihkan pandanganya dan berusaha cuek, tapi Lana semakin terdengar gelisah.


Isyana kemudian bangun dan memeriksa. Di saat Isyana bangun dan mendekat ke suaminya, seketika itu lampu padam.


Untung di luar, bintang dan rembulan bersinar terang, sehingga kilaunya yang masuk melalui celah jendela masih membuat bayang- bayang Isyana bisa teraba indra mata. 


Saat Isyana hendak berbalik, ada tangan besar yang menariknya. Isyana pun terhuyung jatuh dan masuk ke dalam pelukan suaminya. 


“Lana!” pekik Isyana gelagapan. 


Rupanya obat yang mertua Isyana berikan adalah obat kuat dan penyubur dengan dosis tinggi. Itu obat yang Ibu Lana biasa berikan pada Tuan Wira yang sudah memasuki waktu senja. Obat bantu agar hubungan Tuan Wira dan istrinya tetap terjaga.


Isyana berusaha melepaskan tubuhya dari cengekraman suaminya. 


“Mika...!” lirih Lana justru semakin mengencangkan pelukanya pada Isyanya.


Sungguh kata yang mengiris hati Isyana. Di dalam kamar gelap itu, meski tangan Lana memeluknya erat yang dia panggil ternyata permpuan lain. 


“Lepaskan, Lana!” ucap Isyana kembali berusaha melepaskan diri.


Sayangnya Lana justru memutar tubuh Isyana agar berada di bawah kungkunganya. 


“Temani aku malam ini, Sayang!” ucap Lana meracau tidak sadar.


Lana bahkan merapatkan tubuhnya ke Isyana sehingga mereka berhimpitan. Isyana juga merasakan benda keras yang menempel.


Itu adalah pertama kalinya Isyana berdekatan dengan suaminya.


Isyana merasakan sesak dan ingin segera melepaskan diri, sayangnya Lana justru mendaratkan bibirnya dan melahap habis bibir Isyana. 


“Ini tidak salah kan? Dia suamiku kan?” lirih Isyana dalam hati menahan pedih dan akhirnya pasrah terhadap apa yang dilakukan suaminya. 


Meski dengan sadar Isyana tahu, di bayangan dan di otak Lana dirinya orang lain, bukan Isyana. 


“Aku berharap, kau akan bisa berbuat baik dan mencintaiku setelah ini, Lana!” batin Isyana saat Lana membuka paksa pakaian bawahnya. 


Malam itu, meski di bawah pengaruh obat, Lana berhasil menggagahi Isyana.



Bersambung.  🥰🥰 klik ini Untuk Lanjut bab 3


gimana moms serukan kisah ini mempunyai plot alur cerita yang susah di tebak,ini permulaan yah moment yang menegangkan ada di pertengahan cerita.yuk kita lanjut lagi gaskuennnn







Posting Komentar untuk "Istri yang terabaikan Bab 2"